Ultah untuk Diri Sendiri

2922 views
Ultah untuk Diriku

Sumber: istockphoto.com

Hari ini sebetulnya bertepatan dengan hari di mana saya semestinya merayakan hari lahir, atau, istilah sekarangnya birth day. Namun saya memilih tidak merayakan, sekalipun istri sejak pagi telah mengingatkan saya tentang -konon- hari spesial itu. “Ayah Ultah. Selamat, ya.”

Saya tidak menyambut dengan suka cita ucapan selamat dari istri. Dia, seperti biasa juga, tidak kaget. Dia sudah sedikit apal perangai saya, bahwa dalam hidup ini saya berprinsip: tak ada kebahagiaan yang perlu disambut terlalu meriah. Juga untuk kehilangan-kehilangan, tak perlu ditangisi terlalu dalam. Bagi saya, alam punya cara kerja sendiri, sebagaimana kita punya cara kerja. Namun sayang, akibat kerakusan-ketamakan manusia, kadangkala manusia tak mau berjalan di atas kodrat. Dia seperti mau membuat lintasan sendiri, berjalan sendiri sesuai kehendak syahwatiyah-nya, dan ketika gagal Tuhan yang “dipersekusi.”

Saya mengambil jarak dengan cara hidup seperti itu: suatu tren yang kian lama kian menguat. Berhasilkah? Belum. Namun keyakinan saya selalu saya patrikan ke dalam benak, tingkah laku, dan lainnya.

Kembali ke soal Ultah.

Sebagaimana lazim menimpa orang-orang angkatan 80an -maksud saya, orang-orang yang lahir di tahun 1980an- bahwa pencatatan akta kelahiran adalah masalah umum, begitu pun dengan tanggal dan tahun lahir saya. Orangtua yang illiterate, ditambah dengan tidak adanya kebutuhan, maka tak tercatatnya tanggal lahir menjadi masuk akal. Dengan begitu, dokumen-dokumen resmi yang diperoleh dari sekolah yang di dalamnya memuat tanggal lahir adalah tanggal perkiraan yang dibuat oleh pihak sekolah sendiri. Pada saat membuat “perkiraan” itu pun, sepengetahuan saya kemudian, tidak melalui konfirmasi kepada orangtua. Sekolah biasanya memberikan tanggal lahir berdasarkan kriterium umur untuk kebutuhan ujian akhir. Di tahun keluluhan 90an akhir itu, tanggal lahir sekurangnya harus berekor 84. Maka, anak-anak sekelas, betapa pun tua atau mudanya, tanggal lahirnya adalah di tahun tersebut.

Saya termasuk siswa yang “dituakan”. Sebabnya, ketika saya berada di kelas 5, oleh pihak sekolah saya diminta untuk mengikuti ujian akhir/kelulusan. Jumlah siswa kelas 6 tidak mencukupi untuk mengadakan ujian akhir mandiri, yang artinya harus diambilkan dari siswa di bawahnya. Saya termasuk salah satu dari empat siswa yang “dipaksa” mengikuti EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Nasional; sekarang UAN), dan dengan demikian umur saya pun mau tak mau “disetarakan” dengan siswa-siswa lain di kelas 6.

Dan sampai saat ini, tanggal tersebut yang terus menempel dalam ijazah, diikuti oleh dokumen-dokumen lain yang sama-sama membutuhkan tanggal lahir. Karena alasan terakhir ini juga saya enggan merayakan hari lahir.

Namun demikian, itu tidak berarti saya ingkar nikmat kelahiran dari Tuhan, sebagaimana Nabi yang mensyukuri kelahirannya. Saya tetap dan terus bersyukur bahwa dari sekian juta sperma yang menyerbu indung telur ibunda hanya saya yang mendapatkan perkenan “tukul” di bumi. Perkenan tersebut adalah iradah Tuhan. Dan Tuhan sudah mencanangkan suatu “iradah” lain untuk saya, semacam misi kekhalifahan/ra’iyyah, sebagaimana juga pada orang-orang lain yang terlahir ke bumi.

Misi kemanusiaan adalah salah satunya. Yakni, sebuah misi untuk berbuat demi kemaslahatan publik, dalam apapun cara dan manifestasinya. Orang yang “menyelamatkan” anak yatim dan Anjal (anak jalanan) dengan memberikan mereka tempat yang layak, menyekolahkan, dan lainnya adalah termasuk misi kemanusiaan yang utama. Di mata Allah, perbuatan seperti itu jelas perhitungannya, karena Nabi sendiri yang “ngendikan”. Artinya, ia termasuk “perbuatan duniawi” yang berakibat ukhrawi.

Untuk diri sendiri, misalnya, bertekun dalam sesuatu yang kita percayai bahwa kita mampu. Kemampuan yang terus diasah dan dilatih akan mendatangkan kematangan dan keahlian yang mendalam. Alam membekali kita dengan kemampuan bawaan, di mana pada setiap orang bisa sangat berbeda, kadar dan keunggulannya. Orang boleh saja sama-sama memiliki kemampuan manajerial yang mumpuni, tetapi dalam aplikasinya bisa saja yang satu hanya bisa mendayagunakan kemampuan manajerialnya untuk kepentingan perusahaan orang lain; sebaliknya, dengan kemampuan yang sama, orang lain dapat menjalankan roda bisnisnya sendiri. Mereka bisa sama-sama berhasil.

Namun, di atas semuanya, niat itu menentukan. Perbuatan apapun, tanpa dilandasi oleh niat yang baik, akan berdampak sesuai niat semula. Sepersis kata Nabi. Begitu pun ketika saya tak merayakan Ultah. Selamat Ulah untuk diriku, eh

tanggallahir ultah

Related Post

Leave a reply