Menyoal Tulisan Dahlan tentang Antiriba

1173 views
Menyoal Tulisan Dahlan tentang Antiriba

Sumber: detik.com

Kenapa Dahlan Iskan sekonyong tertarik dengan istilah antiriba, atau anti bunga bank, padahal, kita tahu, soal bunga bank itu sudah sejak dahulu kala diributkan dan keputusan hukum (Islam) atasnya sudah tertuang dalam fatwa MUI sejak 20 tahun lalu?

Dan di luar MUI masih ada NU dan Muhammadiyah yang turut menyorongkan fatwa, lewat lembaga otoritatif masing-masing.

Pedebatan bunga bank pun sudah tidak semenarik dulu, ketika lembaga keuangan ini baru bersemai. Ada sekian pendapat pakar yang tidak menganggap bunga bank sebagai riba, sebagaimana pengertian klasik riba dalam hadis maupun tafsir-tafsir yang berkembang atas surat Albaqarah 275, atau ayat-ayat lain yang menyiratkan pelipatgandaan return atas pokok pinjaman.

Abdurrahman Wahid dan A.R. Fachruddin, mantan ketua Muhammadiyah, termasuk yang tidak mengharamkan. Bagi mereka, bunga bank tidak sama dengan Mudhoafah, pelipatgandaan dalam pengertian lama. Bank adalah lembaga keuangan yang menjual beragam produk, semisal simpan-pinjam, giro, deposito, dan lain-lain, dengan menerapkan sistem profit sharing. Dengan demikian, menaikkan harga penjualan dari harga pokok produk merupakan kewajaran perniagaan.

Itu sebabnya, produk bank tidak bisa serta merta disamakan dengan model pinjaman biasa, yang dipraktikkan orang per orang.

Sedangkan mereka yang tetap mengharamkan bunga bank berpegang pada prinsip lama atas riba: segala bentuk pinjaman yang pengembaliannya jadi berlipat, atau sekurangnya berselisih dari jumlah pokok pinjaman. Fikih klasik memang mendefinisikan riba dengan cara itu, bahkan pandangan ulama dari kalangan mazhab yang paling populer di Indonesia: mazhab Syafii.

***

Baru-baru ini ada dua tulisan Dahlan Iskan dalam kanal virtual DI’s Way yang menyinggung soal antiriba itu: “Mulyono Merdeka!” dan “Enam Level”. Pada yang pertama, Dahlan bercerita tentang keberhasilan sosok Mulyono dalam menjalankan sekian usaha, sedang pada yang kedua dia bercerita soal MTR (Masyarakat Tanpa Riba) yang mengaplikasikan enam tingkatan “kursus” antiriba.

Titik tekan Dahlan dalam kedua tulisan ini adalah pada antiriba itu, dan riba yang dimaksud adalah bunga bank. Tengoklah sosok Mulyono yang bergelimang kesuksesan tanpa riba, dengan dibantu MTR. Tetapi, dalam kedua tulisan ini, Dahlan sebetulnya agak berat sebelah. Bagaimana mungkin dia berbicara banyak soal kesuksesan Mulyono dan MTR, sementara dia tidak menyinggung bank sama sekali?

Di lain pihak, kolom komentar Halaman Facebook Dahlan, di mana kedua tulisan dibagikan, dipenuhi komentar dari dua sayap yang berseberangan. Yang setuju, tentu mendukung, dan yang tidak setuju menilai bahwa tulisan Dahlan mengandung logical fallacy yang fatal. Baik yang setuju maupun yang tidak setuju, rupa-rupanya mendapat dukungan dari subkomentar di bawahnya.

Soalnya, lagi-lagi, kenapa baru sekarang Dahlan seakan terhenyak mendengar ‘riba’? Pertanyaan lain pun bisa berkembang, dengan hanya kata kunci itu: misalnya, kalau kini Dahlan antiriba, bagaimana dengan bekas media yang ia tinggalkan, yang dulu ia kelola atas bantuan bank? Kalau Dahlan berpegang pada prinsip, sebagaimana ia kutipkan hadis dari Tirmidzi dalam tulisannya, bahwa riba itu haram, maka seluruh aset yang kini bernaung di bawah PT. Jawa Pos semuanya jatuh haram.

Demikian pun dengan sosok Mulyono, tokoh yang dinarasikan Dahlan. Mulyono adalah pengusaha, yang mulanya berutang pada bank, sebagai aset. Ketika kemudian Mulyono tahu bahwa bunga bank itu haram, dia enggan mengembalikan pinjamannya dengan sistem pokok plus bunga. Dia hanya mau melunasi pokoknya, karena hanya itu utang asli Mulyono.

Sampai di situ, kerancuannya adalah: sejak Mulyono tahu bahwa bunga bank itu haram, sebetulnya dia sudah mengharamkan seluruh aset yang berasal dari pinjaman bank, sama seperti yang menimpa Dahlan. Semestinya, Mulyono tidak hanya mengembalikan sisa utangnya, melainkan mengembalikan semua pinjaman.

Bagaimana kalau uang hasil pinjaman bank kini berbentuk aset lain? Mulyono harus mengembalikan aset itu, dalam apapun bentuknya. Itu pun kalau bank bersedia menerima.

Sebelum berbicara riba, memang ada baiknya menengok ke belakang dulu, atau sekurangnya berkaca ke dalam diri.

Menengok ke belakang itu penting, sebab, jangan-jangan kita berbicara riba secara panjang-lebar, sementara seluruh aset yang kini kita kuasai berasal dari riba. Pun berkaca ke dalam diri itu penting, sebab, jangan-jangan hari ini kita sudah tidak bisa lagi menghindar dari bunga bank yang diribakan itu.

Kita dikepung habis-habisan oleh bank, bahkan hingga urusan tetek-bengek di dalam dapur. Bukankah kini sudah ada perabot rumah tangga yang bisa dibayar dengan sistem cicil, dan itu dikendalikan oleh, sekurangnya, financial institution yang juga memgoperasikan sistem perbankan?

Ribut-ribut berbau, atau persisnya berbaju, Agama itu sebetulnya tidak perlu terlalu ditampilkan ke permukaan, apalagi yang menampilkan orang sekelas Dahlan. Dan, apalagi ribut-ribut itu hanya sebatas furuiyyah, sesuatu yang boleh diperdebatkan. Dahlan terlalu besar, dan bunga bank terlampau kecil.

***

Saya tidak dalam kapasitas membela atau menolak riba. Bagaimana pun, tidak ada perkenan hukum Agama yang membolehkannya.

Hanya saja, mempersoalkan sesuatu yang sudah jelas, itu namanya tahsilul hasil. Dan  memperlakukannya kembali sebagai sesuatu yang “baru” adalah kesia-siaan yang nyata. Benarkah Dahlan mengerjakan sesuatu yang sia-sia?

Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Kita, penduduk +62, sudah sangat terbiasa mengonsumsi barang kadaluarsa, dan kita tetap bahagia.

bungabank dahlaniskan mtr

Related Post

Leave a reply