Versi common sense, dan berlaku umum di kalangan kita orang bawah, sukses adalah posisi, bukan keadaan.

Sukses seringkali diperlambangkan dengan trofi. Untuk meraihnya, diperlukan usaha ekstra keras, ulet, sabar dan lainnya. Namun, di lain pihak, kita kerap salah sangka kepada lambang, termasuk lambang kesuksesan (Kredit foto: svgrepo.com)
Sukses diukur berdasarkan posisi-posisi yang mengandung daya tawar; direktur perusahaan, kepala anak cabang, atau punya usaha sendiri dengan laba bersih sekian puluh juta, dan seterusnya.
Posisi seseorang menentukan layak tidaknya dia memperoleh status sosial. Bagaimana dia sebetulnya? Saya mencoba mengofirmasi “konsep sukses” tersebut kepada para pihak yang posisinya sudah settled. Kelihatannya sudah mapan, segalanya.
Konsepsi
Bertamulah saya kepada seorang kawan, di rumahnya. Ketika saya ajukan pertanyaan, ‘kamu sudah punya segalanya. kamu sukses, ya?’ Jawabannya bikin saya kaget, “kata siapa?”
Karena saya belum puas, saya mendatangi kawan yang lain lagi. Secara kasat mata, “keberadaan” kawan ini sebelas-duabelas dengan yang petama.
Dia orang desa yang merambah peruntungan di kota. Setelah agak lama tinggal di kota, namanya moncer di desanya sebagai pengusaha sukses. Tentu orang desanya melihat dia dari penampilan fisik. Dia punya mobil, rumah, dan perusahaan yang sedang running. Orang desanya menganggap dia mengeruk sekian puluh juta laba bersih dari usaha yang dia jalani.
Kepada saya, dia mengakui ganjalan batin yang sudah lama dia simpan.
“Kau tahu, orang desa menganggap saya sukses, bukan kepalang suksesnya. Ya, yang disebut orang-orang itu mobil, rumah dan usaha saya. Bahkan ada menyimpulkan, usaha saya menggurita. Punya banyak cabang dan anak usaha.”
Dengan nada agak berat, dan sambil menyeruput kopi yang masih panas di depannya, dia melanjutkan, “kalau saja semua aset saya ditukar-guling secara kasar dengan duit, aset-aset itu tidak akan bisa melunasi semua tanggungan kepada rekanan. Tentu, ya, bentuknya macam-macam. Ada yang berbentuk bagi hasil, komisi, dan tanggungan hutang ke lembaga keuangan.”
Sejujurnya, saya tidak paham maksud ‘komisi’ dan ‘lembaga keuangan’. Saya hanya membatin, kenapa untuk menyebut ‘uang keamanan’ saja harus dia haluskan sebagai ‘komisi’. Dan untuk ‘lembaga keuangan’ dimaksud saya juga tidak paham. Adakah ia bank, lembaga pembiayaan di bawah naungan OJK, atau lembaga lain. Atau, mungkin agak riskan menyebutnya secara blak-blakan. Sebab, memang ada saja lembaga keungan ‘odong-odong’ yang beroperasi dan tidak memegang lisensi usaha.
Ya sudah, saya manggut-manggut saja.
Saya memaklumi bahwa punya usaha itu gampang-gampang sulit. Gampangnya, selagi memulai. Asal ada kemauan, plus ditunjang pendanaan yang cukup, usaha bisa langsung jalan. Seorang pengusaha, kemudian tinggal memikirkan cara pemasaran yang jitu.
Sulitnya, di saat usaha mulai berjalan, dengan hasil yang sudah bisa menghidupi pemiliknya, dan membesar. Di saat besar itulah muncul tantangan cukup pelik. Misalnya, ketika baru mulai, orang berpikir akan menjalankan usaha dengan jujur dan terbuka. Begitu besar, jujurnya harus dia singkirkan. Kenapa? Dia bukan lagi anak kecil yang dipapah orangtuanya sendiri untuk latihan berjalan. Dia bersinggungan dengan mafiosi-mafiosi berdasi. Bahkan, dia akan berlari salip-salipan dengan mereka.
Ada berapa macam mafiosi itu? Jangan tanya, banyak sekali jenis dan golongannya. Gampangnya, seperti lembaga keuangan ‘odong-odong’ tadi. Yang namanya lembaga keuangan, jelas dia punya funding dan back up “kamtib” yang mumpuni.
Lalu, saya mencoba meresapi hasil korespondensi itu. Jawaban-jawaban itu tentu menyiratkan kesan bahwa kopsep sukses dia di berada di luar kategori umum. Kenyataan yang dia hadapi, tantangan yang dia terjuni bukan kenyataan dan tantangan konseptual. Yakni, di mana ada tantangan di sana ada peluang. Kadang, di mana ada tantangan, di sana malah tak ada peluang sama sekali. Karena, peluang-peluang yang ada sudah “terpenjara” menurut kultul habitus setempat.
Pendek kata, kita keliru memahami sukses. Artinya, kita perlu mengadakan “perundingan” konseptual kembali dengan sukses, sebelum kata sakti itu kita tularkan kepada sanak keluarga, teman dekat, atau siapapun yang bersedia mendengarkan bualan kita.
Lha, apa perlunya?
Kenyataan
Sangat perlu. Sebab, dari sana pola pikir dan tindakan terbentuk. Dan tentu saja bahwa keduanya punya andil cukup besar dalam menyusuri jalan ke masa depan, di mana setapak itu justru sudah kita cicil sejak sekarang, dengan pola dan konsep tindakan yang sudah “terlanjur” merasuk ke dalam bilik kesadaran.
Orang tua yang jujur dan sadar keadaan akan mencoba memberi nasihat yang kira-kira masuk akal, sekurangnya versi kenyataan kita dewasa ini.
Orang tua harus paham betul apa itu premanisme, penjahat kerah putih, atau lingkaran setan beranama kroniisme. Tanpa mengerti item-item tersebut, bualan-bualan kita justru jadi momok, bagi siapapun yang mendengar dan terbuai. Dan kata sukses hanya enak diperdengarkan.