Skripsi, Buku: Manakah lebih Ilmiah?

985 views
Skripsi Buku Manakah lebih Ilmiah

Sumber: pexels.com

Saya sudah sering membaca buku sekalipun jumlahnya belum sebanyak kutu buku. Tetapi, saya hanya membaca skripsi ketika dulu, dulu sekali, hendak menyelesaikan tugas akhir kuliah.

Di sana memang ada kebutuhan menyertakan ‘kajian terdahulu’, di mana prioritasnya adalah skripsi atau kajian sepadan. Misalnya, jurnal terbitan kampus-kampus tertentu, dengan reputasi yang konon ber-ISBI. I-nya merujuk internasional.

(Yang pernah mengalami masa-masa sulit dengan pengerjaan tugas akhir itu rasa-rasanya paham betul, tanpa diperinci lebih mencekik lagi). Dan sehabis memungkasi tugas akhir itu saya bertekad tidak akan mengulangi peristiwa serupa. Atau: saya jengah bercampur eneg dengan bangku kuliah.

Tugas akhir yang demikian berat, ditambah dengan beban masa depan yang remang-remang, merupakan dua skandal perkuliahan yang teramat sulit saya buang dari ingatan. Banyak orang di luar saya pun bersaksi demikian.

Saban terngiang-ngiang masa itu, atau misalnya kini bersua dengan anak kuliahan, ingatan saya langsung blingsatan tak karuan. Problematik masa-masa yang konon paling indah dalam hidup justru paling mengerikan buat saya.

Lalu apa hubungan skripsi dan buku?

 

Berkaca ke Pengalaman

Selepas kuliah, saya mencoba menuliskan isi pikiran dalam satu-dua paragraf. Ketika paragraf-paragraf tersebut mencapai kualifikasi untuk bisa dikirimkan ke media massa, yang waktu masih cetak oriented, saya kirimkan.

Berapa tulisan yang saya kirim? Sudah banyak sekali. Tetapi nahas. Tak satu pun media bersedia menerbitkan.

Apa karena tulisan saya buruk? Saya tidak tahu. Redaktur-redaktur media itulah yang tahu. Terang saja saya tidak bisa menilai tulisan sendiri, apalagi ini berhubungan dengan, misalnya style penulisan. Media-media memang berbeda-beda mazhab stilistika penulisan berita, bahkan perbedaannya cenderung jauh. Orang yang sudah terbiasa membaca Jawa Pos tentu sedikitnya akan mengalami  nuasa yang berbeda dengan, misalnya, membaca Kompas atau Tempo. Ini kata dosen jurnalistik saya dulu.

Atau, apa karena tulisan saya tak mengindahkan kaidah-kaidah penulisan artikel populer? Saya pun tidak tahu. Ilmu kepenulisan sudah saya dapatkan, bahkan dari jurnalis aktif. Dulu memang ada pilihan kelas ekstra di mana para pengampu mata kuliahnya adalah para profesional.

Lalu apa sebetulnya sumber masalahnya?

Sewaktu saya menuliskan isi pikiran untuk kesekian kali, saya mencoba menarik ingatan ke belakang. Saya kemudian membongkar lagi kliping opini, esai, dan yang sejenis dari rak lemari. Begitu saya membuka kliping tersebut, saya terhenyak dan mendongak nyaris tak percaya: para penulis yang tulisannya rutin termuat di media adalah para penulis buku. Ah, kalau begitu sirna sudah angan-angan kepenulisan saya, saya bergumam sendiri.

Lalu, sekonyong saya mengambil kesimpulan: saya harus menulis buku dulu, kemudian menulis untuk media. Dengan begitu, dalam cuplikan baris terakhir tulisan saya: penulis adalah penulis buku bal bla bal. Dengan begitu pula barangkali akan lebih eye catching editor atau redaktur. Sebab, penulis buku terang orang-orang hebat. Kalau tidak hebat, mana mungkin bisa menulis buku. Buku adalah jendela dunia, dan para penulisnya pastilah para pengrajin dan ahli sipil perjendelaan yang handal sehingga tahu view yang bagus untuk ditaruh jendela.

Ternyata, inilah sumber masalahnya, saya membatin sekali lagi. Tetapi rupanya tidak berhenti di situ.

Kemudian saya mencoba meraba-raba ingatan yang mulai dimakan usia, buku apa saja yang pernah saya baca, orang pintar mana saja yang pernah saya hadiri seminarnya, atau kiai siapa saja yang pernah saya mintakan suwuk untuk menyembuhkan kebuntuan otak dan dekadensi berpikir saya. Hasilnya saya gambarkan dalam dua uraian berikut:

Pertama, dipertimbangkan dari segi cara meraih, skripsi jelas lebih meletihkan. Skripsi adalah tugas akhir seorang calon scholar di mana ia hanya bisa sampai ke titik itu bilamana dia menyelesaikan seluruh tahapan sekolah sebelum sampai di perguruan tinggi. Lulus TK, SD, SMP dan SMA, plus berijazah. Lulus saja tanpa ijazah, Anda tak bisa lanjut. Inilah yang dulu menimpa kawan seperjuangan. Dia lulus, tetapi ijazahnya ditahan oleh pihak sekolah lantaran dia sering bermasalah dengan lembaga.

Untuk menulis buku, Anda tak perlu menempuh perjalanan sejauh itu. Bahkan, tamatan atau tak tamat SD pun bisa menulis. Konon, D Zawawi, penyair kesohor dan banyak menulis buku, hanya sampai di bangku kelas 5 Sekolah Rakyat.

Kedua, kadar ilmiah. Skripsi ditulis berdasarkan kaidah ilmiah yang ketat, dibimbing oleh para suhu dan diujikan di muka akademisi perguruan tinggi. Untuk sampai di tahapan ujian akhir itu, penulis skripsi lebih dulu merancang judul, outline dan proposal. Petanya; judul mesti dapat restu calon pembimbing, karena hanya calon pembimbjng yang dianggap paling tahu mana judul asal-asalan dan mana judul asal comot atau plagiat. Celaka, manakala calon judul memenuhi dua kriteria tersebut.

Setelah judul lulus pemindaian calon pembimbing, penulis kemudian membuat kerangka besar yang disebut outline. Begitu sampai di tahapan ini, yang mesti dikebut adalah proposal, yang disertai serangkaian konsultasi-revisi. Lalu, ujian. Ujian proposal selesai bukan berarti tanpa masalah. Proposal yang lulus di meja pembimbing bukan berarti lulus di meja penguji. Gagal di sini, alamat membuat proposal baru. Artinya, Anda membuat judul, outline dan seterusnya lagi.

Bagaimana dengan buku? Saya tidak bisa berbicara banyak di bagian ini, karena saya belum menulis buku. Saya hanya bisa memberi ilustrasi.

Ada kawan yang kegiatan harian utamanya membuat postingan di beranda fesbuk. Dia menekuni dunia postingan ini lebih kurang dua tahunan. Dia menulis apapun saja; tema kekinian maupun tema lama yang dirasa masih relevan. Tulisannya panjang-panjang, sampai-sampai saya pun jengah mengikuti.

Lama tak saya Japri, sekira enam bulan silam postingan-postingan tersebut sudah berbentuk buku. Laku, dan keras lagi. Dia harus keliling dari satu ke lain kota untuk melayani permintaan bedah buku, atau bedah bedah buku yang diinisiasi oleh pihak penerbit sendiri.

 

Para Pejuang

Dua hari lalu kawan ini menjapri, “kamu masih memperjuangkan tulisanmu”?

Saya justru bertanya-tanya: dengan proses yang demikian demit, tak terlintaskah dalam pikiran redaktur atau editor media untuk mengutamakan kiriman artikel para pejuang skripsi? Lalu, dalam edisi cetak, bagian akhir artikel tertulis: penulis adalah penulis skripsi “Bal Bla Bal”

buku karyailmiah skripsi

Related Post

Leave a reply