
Sumber: unsplash.com
Saya seorang sarjana Bahasa dan Sastra (Bastra) Inggris lulusan salah satu kampus keagamaan terbeken di kota Malang.
Saya lulus dengan nilai yang cukup lumayan, dan lebih dari qualified untuk melamar beasiswa ke Eropa atau Amerika. Dan saya sudah kembali menghirup udara di kampung halaman semenjak lebih-kurang 3 tahun silam.
Setelah menyelesaikan kuliah, mahasiswa aktifis umumnya tidak langsung pulang kampung. Sekalipun tak ngaktifis betulan, ritual ini saya lakukan pula. “Dengan modal jejaring yang sudah kau rintis, manfaatkanlah itu sebagai peluang,” kata seorang kawan aktifis suatu saat menasehati saya.
Yang dimaksud dengan jejaring adalah senior dalam organisasi, kolega, atau semacamnya yang sudah dianggap punya kedudukan menawan nan menjual; umumnya kedudukan struktural di ormas, orpol, atau birokrasi.
Kenapa saya akhirnya memilih back home, inilah salah satu pertanyaan terberat yang terus menjerat saya selama bertahun-tahun pascalulus. Namun, oleh karena saya tak kunjung bersua jawabnya, saya memilih mukim di Malang selama beberapa tahun kemudian.
Ketika akhirnya saya pulang kampung pun sebetulnya hanya bermodal keyaninan, bahwa hidup dan penghidupan saya sudah dirancang Tuhan nun jauh sebelum saya ditetaskan ke bumi pertiwi. Jadi, Tuhanlah alasan saya. Ya kariim!
Memikul beban sarjana memang tidak seringan makan tempe goreng ditemani secangkir kopi hitam di pagi hari. Apalagi, ini ‘sarjana-pulang-kampung’. Kampung, saudara-saudara! Bukan kota, di mana kebanyakan penduduknya sudah melek info dan sadar betul akan pilunya nasib sarjana.
Seorang sarjana, tentu saja dia yang di pundaknya terbenam tanggung jawab akademis berdasarkan konsentrasi keilmuan yang telah dia rampungkan. Sarjana Bastra, dengan demikian, adalah seorang yang telah menyelesaikan (menguasai?) teori-teori kritik sastra, teori analisa wacana, pengantar kebahasaan, pengantar sastra, dll yang semuanya termakub dalam Mata Kuliah Dasar (MKD) dan Mata Kuliah Khusus (MKK).
Sementara itu, bila Anda kuliah di kampus keagamaan, beban SKS masih ditambah dengan matakuliah (Matkul) yang aneh sama sekali. Aneh, karena matakuliah ini hampir tak bersangkut-paut, baik teoritis maupun praksis, dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai seorang sarjana. Sebut saja matakuliah ‘Pengantar Filsafat Islam’.
Dengan tanpa mengabaikan takzim mendalam kepada nama-nama besar macam Alfarabi, ibn Rusyd, Arrazi, dll, keberadaan Matkul Filsafat Islam di kampus tetap problematis. Cobalah sekejap kita membayangkan nama-nama besar itu, lalu lihat kenyataan perkuliahannya.
Filsafat yang dihasilkan oleh olah batin mendalam itu diringkus hanya oleh beban dua buah SKS. Ringkas kata, sebutlah filsafat Metafisika yang menggelora dan membuahkan debat berkepanjangan di zaman old, dicukupkan dengan ‘pengantar’. Maka, sebagai salah satu alumninya saya berani bertaruh: jangankan paham, tidak-paham pun saya sangsikan. Akan tetapi, bila tujuan filsafat adalah membentuk manusia yang menyangsikan segala sesuatu, Matkul ini berhasil seklimaks-klimaksnya.
Demikian pun ‘Studi Tasawuf’. Matkul ini merupakan studi ilmu kebatinan yang kelak keluarannya diharapkan dapat mencerahkan kemelompongan batin manusia. Di titik paling ujung, tujuan Tasawuf adalah terkelupasnya manusia dari segenap hiruk-pikuk “urusan” duniawi, karena yang utama bagi manusia adalah Tuhan. Selain Tuhan adalah deretan kepalsuan-kepalsuan.
Maka, karena kuliah pun bukan Tuhan, tak mengherankan bilamana mahasiswa (wabil khusus mahasiswa zaman antik) selalu lulus dengan paksaan. Belakangan, peraturan baru pendidikan tinggi tak memberi kemungkinan kepada mahasiswa untuk meng-antik. Pilihannya jelas: lulus atau dipaksa mutasi kampus. Sedap to? Selamatlah wajah perkampusan dari manusia antik.
Lalu, bagaimana tali-temali dua contoh Matkul tersebut dengan konsentrasi atau jurusan dan praksis lapangannya? Secara teoritis, keduanya menyokong imaji tingkat tinggi, dari mana keduanya bertolak. Kesangsian dalam filsafat dan kefanaan dalam tasawuf memang hanya munyer dan berakhir pula dalam benak. Secara praksis, keduanya berguna bagi pembentukan pribadi-pribadi sarjana yang metafisis. Yakni, pribadi-pribadi yang merintis jalan menuju Tuhan.
Apa sebab? Baik Filsafat Islam maupun Tasawuf sama-sama identik dengan “alam sana”. Bagaimana dengan “Alam sini”? Tenang, saudara-saudara. Kampung bukannya tak menyediakan lapangan kerja. Sarjana-sarjana itu saja yang ogah. Melimpah sekali pekerjaan di sana. Gajinya saja yang tak bermajikan.
Ah, sudahlah. Barangkali keberadaan dua contoh Matkul tersebut pun hasil tafsir ‘metafisis’ terhadap amanat UU Sisdiknas kita, yang salah satu pesannya adalah mencetak manusia bertakwa dan beriman sepenuh-penuhnya.
Di lain pihak, sarjana pesimistik macam saya justru terberkati oleh tafsir ‘metafisis’ ini sehingga saya pun cenderung nyufi: menyerahkan seluruh beban hidup dan penghidupan kepada Tuhan.
Dengan demikian, Negara tidak perlu kuatir berlebih akan pembengkakan angka sarjana lulusan kampus keagamaan dari tahun ke tahun. Mereka (utamanya saya, eaaaks) tak akan membebani APBN dan indeks kenaikan angka pengangguran. Di bawah kuasa Tuhan, saya bekerja. Ya, bekerja. Modalnya ikhlas, upahnya surga. Betapa mulia!