
Sumber: kompas.com
Delik Narkoboy, dalam tata Hukum Pidana kita, adalah kasus berat. Ia salah satu musuh negara yang utama, selain terorisme dan korupsi. Malah, bila ditinjau dari kadar pasal yang mungkin bakal menjerat pelaku, ia bahkan bisa menyamai terorisme berat. Terpidana kasus Narkoboy 20 tahun, Shapelle Corby (WN Australia) di Bali, yang setelah melalui sekian drama persidangan dan akhirnya lepas-bebas, adalah salah satunya.
Kasus Narkoboy yang menjerat putera bang Haji (Raden Haji Oma Irama) merupakan kasus kecelakaan berganda figur publik kita dari kalangan artis. Kenapa kecelakaan berganda? Persisnya, Ridho sudah begitu, eh, bang Haji sendiri kok malah begini. Di satu pihak, kasus tersebut membuat kita miris-risih, sementara di lain pihak kita dibikin lebih risih-miris oleh tanggapan-tanggapan bang Haji atas pertanyaan wartawan soal kelakuan si anak.
Kita tahu, bang Haji adalah figur panutan insan dangdut. Suaranya menyemesta sejak kaset pita, LCD, USB hingga ketiganya punah dan digantikan oleh streaming music. Dalam dirinya menyatu berbagai prasyarat seorang musikus disebut legenda; ya pengarang lagu, ya komposer musik, ya penyanyi sekaligus. Dia seorang komposer lagu dangdut yang andal, lihai, dan mampu meramu diksi dan emosi sedemikian dalam. Sehingga, ramuan tersebut langgeng, tak lekang dimakan usia atau merenta dikepung berbagai aliran musik yang terus merangsek. Bang Haji adalan ikon, yang ketenarannya sampai ke pelosok-pelosok pedalaman di Tanah Air. Dan bukan hanya itu. Popularitas bang Haji bahkan juga berkibar di negara tetangga di rumpun lingua franca Melayu. Malaysia, salah satunya.
Ketika awal 90an saya ke Malaysia, dari bilik-bilik kamar pribumi Melayu Malaysia kerap terdengar lagu-lagu sendu Sang Raja; juga di kedai-kedai kopi dan tongkrongan. Mungkin saja, semerbak nama Raden Haji Oma Irama juga terukir dalam di hati orang-orang angkatan 80an di Singapura atau Brunei Darussalam.
Lalu, apa hubungannya dengan kecelakaan berganda itu?
Dengan popularitas semoncer bang Haji, agaknya tak begitu sedap terdengar ketika dia ditanyai wartawan perihal kasus Narkoboy sang anak. Katanya, “jadi hampir setiap hari, pagi tuh (telepon), ‘Assalamualaikum Dho sudah (salat) subuh? Sudah lari pagi? Olahraga? Baca Quran? (Rhido bilang), ‘belum pak. Ya sudah baca nanti”. Bagaimana mungkin manusia setenar-seterdidik bang Haji menjawab dengan cara seperti itu, sementara jawaban dia tentu didengar khalayak, lebih-lebih para pemujanya yang hingga kini masih terus bersetia. Narkoboy, sekali lagi, adalah kejahatan luar biasa, yang dapat membunuh bukan saja satu generasi melainkan sampai berjilid-jilid generasi ke depan.
Hambok sebelum menjawab hya dipikir. Dipikir. Dipiker. Ampli kata-kata ditata, mikser nalar disetel sehingga tak kedengaran cetar yang pekak (bukannya pekok?).
Publik awam (dan yang sangat awam seperti saya) akan menilai, tentu, bahwa pemakaian Narkoboy tak terkait pola asuh, pendidikan dini dalam keluarga, atau pembiasaan-pembiasaan awal sebelum anak tumbuh-kembang. Orangtua seperti tak punya andil dalam membentuk kepribadian, karakter atau pola lelaku anak kelak. Andil orangtua, seperti kata bang Haji sendiri, terpancar melalui, “… saya kontrol terus. Tapi ‘kan di sela-sela itu setan nggak diem, di sela-sela itu, setan ini luar biasa”. Rasa-rasanya, kalau bercara dengan model begitu, terang bukan. Seperti kata Freud, peramu psikoanalisa mula-mula, kebiasaan adalah pembentuk karakter pertama, sebelum pendidikan dan lingkungan.
Andil orangtua seakan cuma ceramah, memauizahi anak. Orangtua tak punya kewajiban moril untuk menjadi teladan. Apa memang bang Haji tak layak diteladani? Apa hanya gara-gara pernah berseteru dengan Gus Dur perihal Inul “ngebor” Dararista, di mana waktu itu mana bang Haji bertindak sebagai polisi moral, namun tak berselang lama setelahnya justru bang Haji sendiri yang bikin “ulah” dengan Si Malaikat Lelga itu? Ah, saya tak tahu.
Dengan kata lain, kalaulah bang Haji harus mencari kambing hitam, menyebut lingkungan atawa pendidikan kan masih lumayan. Kedengarannya agak berklas. Lha, ini setan.
Mungkin bang Haji belum membaca, atau memang tidak sempat menelaah, bahwa setan juga tentara Tuhan. Setan bukan musuhNya. Setan adalah tentara yang diperbantukan Tuhan untuk menjadi lawan-main malaikat. Tuhannya setan, ya Tuhannya manusia jua. Tuhan tidak mungkin berseteru dengan ciptaannya sendiri. Setan hanya mendapat mandat begitu. “Hanya setan yang mampu melakukan tugas berat menggoda manusia, karena dia yang paling besar hati,” begitu kata Cak Nun, suatu ketika di forum Maiyah (di Yutup)
Jawaban a la bang Haji mengingatkan kita kepada hikayat seorang rabbi yang terdampar di gurun. Ketika rabbi tersebut akhirnya terjerembap ke dalam lubang hina-dina dengan “menggagahi” kuda tumpangannya sendiri, dengan polos dan tak bertossa bergumam, “dasar setan! hanya karena rayuanmu aku berbuat mesum, bahkan kepada yang sangat tak layak aku mesumi”. Setan, di pojok sana menimpali, “kau yang enak, kenapa aku yang kau salahkan!”
Bang Haji adalah (kira-kira) rabbi dalam penampakan terkini. Dia menimpakan perbuatan asusila kepada setan, liyan. Dia mencari kambing hitam. Ya, setan itu kambing yang paling hitam, dalang dari semua dosa Rhido: jawaban yang mengingatkan kita kepada terpidana korupsi yang berasal dari hasil OTT KPK, yang saat dicegat kawanan jurnalis dia berujar, “tulung Om, dengar. Saya ini dijebak. Saya ini …”
Akhirul kata, kesalahan berganda bang Haji itu; Satu, mengimplisitkan setan sebagai musuh. Setan itu, sekali lagi, bukan musuh, tapi sohibnya anak bang Haji sendiri. Jadi, sebagaimana kata orang-orang tua, kalau ingin melihat orang secara dekat, lihat temannya. Orang baik-baik biasanya berkawan dengan yang baik-baik pula. Kecenderungannya memang begitu. Tapi apa iya setan juga Narkoboyan? Nah, itu.
Dua, mengimplisitkan kebaikan. Jaman sudah begini, kebaikan jangan coba-coba disembunyikan. Kalau bang Haji mau dicontoh, tampakkan teladan. Nyatakan kalau bang Haji tak cuma bisa jadi polisi moral bagi orang lain, tapi juga bagi diri sendiri. Untuk itu, mungkin perlu menyatakan dengan seksama bahwa si Malaikat itu …
Asudahlah. Jaman pandemi begini lumayan kita dapat hiburan.