Ramadan dan Masalah Keberagamaan yang tak Tuntas

755 views
Ramadan dan Masalah Keagamaan yang tak Tuntas

Sumber: unsplash.com

Ramadan telah memasuki gelombang keduanya, atau biasa disebut sebagai sepuluh hari kedua.

Namun, sebagaimana Ramadan tahun lalu, ia menanggung segala luka dan perih yang sama di tahun ini: kita menghadapi Ramadan tahun kemarin dengan beban pandemi, dan semua orang seperti bersiap menatap Syawal di tahun itu dengan kemerdekaan normalitas sedia kala. Ulangan Ramadan, juga lukanya, masih terus bergelayut.

Kenyataan Pahit

Tahun lalu, pemerintah mengencangkan sabuk pengaman dengan menahan masyarakat agar tak mudik atau pulang kampung. Tahun ini ancang-ancang yang sama telah dikeluarkan, namun ia diawali dengan riuh-rendah yang itu-itu juga.

Terakhir, lewat paket Addendum Surat Edaran Satgas Penanganan Covid-19 nomor 13, larangan mudik kali ini sepertinya menandai iktikad yang sungguh-sungguh bahwa pandemi adalah musuh bersama, dan untuk itu segala cara harus ditempuh agar daya ekspansinya tak kian menggila.

Di saat bersamaan, pemerintah makin tegar dengan paket kebijakan ini karena selain bahwa sebagian besar rakyat makin berkesadaran akan bahaya pandemi, juga dukungan yang makin kencang dari otoritas-otoritas Ormas arus utama -seperti NU dan Muhammadiyah- agar masyarakat mengikuti dan menaati kebijakan pemerintah tersebut.

Bagi masyarakat yang berhasil mudik lebih awal dan sampai di tujuan dengan selamat, kampung halaman menyediakan momentum of solace yang dapat melebur sekian efek samping pandemi yang menyesakkan. Dan bagi yang tak berhasil mudik lantaran satu dan lain hal juga tak perlu amat disesali.

Hari-hari ini kita sedang menghadapi masa-masa eksepsi yang teramat pahit. Dan untuk itu barangkali ada baiknya kita kembali menggumuli makna Ramadan.

Sepuluh hari pertama. Pada sepuluh hari pertama yang sudah berlalu Tuhan membuka pintu langit dengan ampunan-ampunan. Tuhan membuka tangan selebar-lebarnya untuk kita sambut dengan permohonan ampun yang tulus, yang bukan sekedar. Kita memohon ampun kepada Tuhan bukan terutama karena kita melanggengkan kealpaan dan kesalahan-kesalahan, melainkan kita memang membudidayakan keduanya.

Untuk itu pun, Tuhan masih bersedia mengerti keadaan kita, Dia mengerti pula bahwa kita akan terus mengulanginya lagi, atau bahkan sengaja merencanakannya.

Tuhan itu, menurut literatur keislaman, adalah Alghofur, Alghaffar, Attawwab dan Alafuwwu. Ketiga kata ini merupakan rekognisi apologetis Tuhan untuk berbagai jenis kesalahan, kealpaan dan dosa; mulai dari yang sifatnya personal-individual sampai publik-sosial.

Untuk kesalahan individu, yakni kesalahan atas kelalaian manusia terhadap perintah Tuhan yang bersifat individual, manusia cukup bermohon ampunan hanya kepadaNya. “Ya Tuhan, ampunilah hamba yang masih menyimpan dengki atas kemakmuran tetangga kiri-kanan hamba”, misalnya.

Perintah Tuhan jelas, bahwa dengki, hasud, atau semacamnya dilarang. Bahkan, seorang hamba dikatakan bersyukur manakala dia bersedia bersyukur atas tetangga yang makmur (QS. Hud: 5). Pemahaman terbaliknya, kekufuran hamba diukur dengan ketaksediaan bersyukur atas karunia yang diterima orang lain.

Seterusnya, kesalahan terhadap yang menyangkut hak orang lain atau liyan. Bagaimana cara bermohon ampun? Tentu, orang lain yang tercakup dalam kesalahan itu harus dilibatkan dengan penuh kesadaran. Jika tidak, permohonan ampun menjadi sia-sia. Kesalahan menjalankan amanat rakyat, misalnya, harus dikatakan secara terus-terang bahwa seorang pemimpin telah melakukannya.

Bahkan, dia mesti menjelaskan kesalahan tersebut secara detil. Penjara atau putusan pengadilan belum dapat dianggap mewakili, apalagi sejauh ini publik masih curiga dengan sistem tatakelola peradilan dan penegakan hukum kita: bahwa lembaga-lembaga tersebut masih tajam ke bawah dan nyaris tak bermata ke atas.

Jadi, para pejabat tak dianjurkan untuk open house agar rakyat datang menyambangi, lalu si pejabat cukup menerima mereka dengan ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf lewat kartu.

Sepuluh hari kedua. Pada sepuluh hari kedua Tuhan menurunkan rahmat. Apa rahmat? Rahmat adalah segala kemewahan duniawi, mulai dari yang dianggap paling sepele seperti kesehatan, kesempatan, dan lainnya; juga berupa kapital melimpah, jabatan mentereng, karir cemerlang, dan lainnya. Rahmat, oleh karenanya, cenderung bebas-nilai: output rahmat ditentukan oleh manusia.

Tuhan berwenang menurunkan, tentu sesuai permohonan manusia, dan manusia diberikan kebebasan mengolela lalu menjalankannya. Dengan begitu, dengan rahmat manusia bisa “mencapai” Tuhan; namun, dengan rahmat pula manusia bisa lebih hina daripada binatang.

Maksudnya, kalau kambing dan singa hanya bisa mengembek dan mengaum, lalu saling terkam satu dengan lainnya, begitulah manusia yang “menyalahgunakan” rahmat.

Dengan rahmat pula akan berlaku hukum, homo homini lupus, omnium kontra omnes atau ta’wan ala al birri wa attaqwa. Bisakah kita tak saling terkam atau tak saling memakan? Kita patut bertanya pada pejabat-pejabat kita yang habis menerkam anggaran masih bisa melepas senyum penuh arti saat dibajui seragam tahanan KPK.

Sepuluh hari ketiga. Pada tahap ketiga ini, Ramadan bermakna itqun min annar (pembebasan dari jilatan api neraka). Maksudnya, setelah manusia memeroleh ampunan dan rahmat, dia akan dianugerahi Tuhan berupa kebebasan dari api neraka. Neraka akhirat belakakah? Nabi bersabda bahwa dunia adalah pelataran/taman akhirat. Di pelataran itu, miniatur akhirat terbuka: neraka dan surga menghampar di sini.

Kalau neraka adalah isyarat siksaan dan surga adalah analogi kesenangan, sudah berapa kalikah kita menjumpai diri sendiri terperosok dalam kobaran api?

 

Pelajaran Berharga

Pada bagian terakhir ini pula sebetulnya membentang problem keberagamaan yang belum tuntas pada sebagian masyarakat agamis kita. Teror menggema, bom meletus, dan tindakan-tindakan nirhumanis lainnya merupakan buah dari jenis pikiran yang memosisikan agama dan dunia selalu dalam tegangan.

Mereka menganggap bahwa dunia bukan bagian dari syariat agama. Oleh sebab itu, dunia harus musnah. Ramadan memberi kita jalan introspeksi, dalam cara kita beragama, bermasyarakat dan bernegara.

introspeksi keberagamaan ramadan

Related Post

Leave a reply