Politik dan Blater: Bangkalan Pasca RKH Fuad Amin

1398 views
Politik dan Blater: Bangkalan Pasca RKH Fuad Amin

Sumber: viva.co.id

Sifat politik yang paling azali adalah fleksibilitasnya. Begitupun pelaku dan para partisipan, berikut perilaku-perilaku politisnya. Namun, dalam etape demokrasi yang masih merangkak, politik kadangkala justru tampil dengan wajah kereng.

Wajah kereng demokrasi juga pernah dialami Amerika, negara dengan sebutan paling demokratis di dunia, di paruh kedua abad ke-20, justru setelah tiga abad negara adidaya ini mempraktikkan demokrasi.

Demokrasi memang butuh waktu, dan tidak sebentar. Pelaku, partisipan dan perilaku politik tidak sekedar butuh pengertian dan cara menjalankan politik secara demokratis, yang benar-benar mencerminkan kedaulatan manusia dalam dua sisinya; individual dan sosial, namun juga kesanggupan menyangga kedaulatan sebagai yang pokok dari manusia, yang tak boleh terlukai. Dengan kata lain, mencederai kedaulatan adalah mencederai manusia itu sendiri, aktor utama politik.

Dalam arti yang lain lagi, politik adalah jalan menuju pemanusiaan, lewat jalur formalistik-pragmatis.

Yang terakhir ini kita mendengarnya dari Soetan Syahrir, aktifis awal kemerdekaan, ketika mendengungkan ketidaksepemahamannya dengan bung Karno. Bagi syahrir, politik adalah cara kita merevolusi bangunan yang bukan fisik sifatnya, dan apapun saja yang dipegang zoon politicon dalam ikhtiar meraih kemuliaan bersama. Untuk itu, cara mencapai kekuasaan politis harus berada di jalur yang dapat dibenarkan.

Syahrir memang kedengaran terlalu moralistik. Tetapi, demi angan-angan demokratik, ajaran-ajaran moral perlu kita perdengarkan, sekalipun dalam wilayah praksis ia tampak begitu kelu dan nyaris mustahil.

***

16 September lalu, mantan Bupati Bangkalan berpulang, dalam usia 73 tahun, dalam status menjalani sisa masa hukuman. Bagi rakyat Bangkalan, kepergian Kiai Fuad adalah kepergian yang mendadak, dan menyentak.

Betapa pun kiai mantan bupati tersebut divonis bersalah oleh pengadilan Tipikor, dalam kesadaran kolektif masyarakat Bangkalan dia tetap junjungan, sekurangnya untuk tiga motor utama penggerak politik Madura secara umum; kiai, priyayi dan blater. Pada sosoknya, tiga motor utama itu tak bisa dilepaskan. Dengan kata lain, hanya dia dengan kemampuan merekatkan trinitas pilar itu yang mampu duduk di singgasana kekuasaan, dan pelanggenggan kekuasaan otomatis mengartikan keperkasaan jejaring hingga ke akar-akar ketiganya.

Di lain pihak, kepergian Kiai Fuad tentu membawakan dentuman atau polarisasi kekuatan politis, yang berdampak pada perjalanan politik jangka pendek maupun jangka panjang, yang berkubang dari skala lokal desa hingga regional Bangkalan sendiri.

Pada tahap polarisasi, kekuatan utama politik, blater, akan mencari bentuk dan medium baru untuk kembali menancapkan keperkasaan pada arena-arena suksesi. Yang dapat kita terka adalah, para blater akan membentuk barisan baru, dengan kepala yang juga baru. Atau, mereka terpaksa koyak sebab mereka yang selama ini “terjajah” oleh keperkasaan Kiai Fuad akan bergerak sendiri-sendiri mengikuti syahwat purbanya. Artinya, kalaupun ada kekuatan blater yang bisa disegani dan diperhitungkan, kekuatan itu tak akan mampu “menundukkan” Bangkalan secara keseluruhan. Dalam arti real politic, paling jauh, gerakan mereka hanya sampai di tingkat suksesi kepala desa.

Pada saat bersamaan, keterberaian blater otomatis membawakan angin segar bagi tunas-tunas baru, yang baru muncul dan merambah jalan. Dan dalam jangka panjang tentu akan semakin menyehatkan demokrasi di Bangkalan.

Namun, bagaimana kalau tunas-tunas baru itu tak kunjung bangkit, dengan membuat barisan sendiri, dengan idealismenya sendiri? Kalau ini yang terjadi, politik Bangkalan akan tetap berjalan di tempat, atau bahkan mundur jauh ke belakang. Para generasi muda yang tak bisa merambah jalannya sendiri akan kembali “dipekerjakan” oleh jaringan lama tadi. Dengan kata lain, blater tetap di puncak kekuatan, dengan hanya mengganti baju lama dengan baju baru.

Itu rekayasa kemungkinan pertama.

Kemungkinan kedua adalah tergabungnya para blater simpatisan militan Kiai Fuad dalam berikade kekuatan baru, dengan menunjuk salah-satu suksesor Kiai Fuad, tentu dari jalur nasab yang sama dengannya.

Namun, menilik geliat praksis politik yang baru berlangsung di bulan April lalu, agak sulit membayangkan terbentuknya berikade itu. Lihat, misalnya, betapa Jokowi yang diusung almarhum menang dengan terengah-engah. Artinya, dibandingkan Pemilu 2014 yang memenangkan Prabowo dengan angka mutlak, kekuatan Kiai Fuad sudah jauh mengeropos.

Orang boleh mengira-kira bahwa merosotnya karisma politik Kiai Fuad bisa saja disebabkan oleh keterbatasan “ruang-gerak” dan lain-lain, tetapi bagi simpatisan sejati itu bukan persoalan. Titah kiai Fuad tetap sakti, mau di dalam atau di luar kekuasaan dan baik di luar atau pun di dalam jeruji.

Namun, di luar terbentuk atau tidaknya kekuatan dominan baru politik Bangkalan, agak menarik menantikan kiprah dan gebrakan “para penerus” Kiai Fuad di politik. Ada KH Imron Amin dan KH Hasani Zubair yang baru dilatik di Senayan. Ada KH Nasih Aschal di Jatim.

***

Kembali ke Syahrir, politik tanpa moralitas adalah toteliterisme. Dan toteliterisme adalah musuh utama demokratisme.

Dengan demikian, sebaik-baik demokrasi adalah yang menjunjung persamaan hak di muka hukum, kesetaraan dan keadilan. Tanpa memenuhi kriteria minimal tersebut, demokrasi adalah, mengutip Heidegger, die offentlichkeit verdunkelt alles (apa yang publik menggelapkan semuanya). Dalam masyarakat pemilih emosional, “kegelapan” itu tentu dimotori para penggerak, penggiring dan ‘penjamin’ opini suara pemilih. Dan dalam arti politik pragmatis di Bangkalan, bagian blater sangat besar di situ.

Dari ketiga “suksesor” Kiai Fuad, rakyat Bangkalan tentu berharap banyak akan masa depan demokrasi “yang lain” di Bangkalan.

bangkalan blater politik

Related Post

Leave a reply