
Sumber: thriveglobal.com
Karena saya suka membaca dan sesekali menulis, seorang kawan tiba-tiba menyeletuk, entah dengan maksud apa, “saya lihat kamu suntuk sekali membaca. Kamu juga mulai menulis. Kamu pintar, ya?”
Mendengar “pertanyaan” kawan ini, saya jadi bertanya-tanya: gerangan apa yang disebut pintar itu. Pikiran pun melayang jauh ke belakang.
Definisi Kepintaran di Masa Lampau
Dulu, orang pintar adalah orang yang punya banyak hafalan. Guru-guru saya di sekolah dasar begitu. Hafalannya banyak. Mereka sekonyong bisa menyebutkan dalil banyak sekali hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan receh siswa. Saya tahu, dalil-dalil itu adalah hafa0lan yang mereka pendam lama sekali. Saya pun menyebut guru-guru saya di sekolah dasar sebagai orang-orang yang pintar.
Sampai saya SMA, keyakinan saya tak beranjak. Guru-guru pun masih nyaris sama belaka.
Kemudian, datang masa yang lain. Yakni, ketika saya belajar di perguruan tinggi.
Sewaktu di perguruan tinggi, saya menyaksikan kawan-kawan yang suka berdebat. Kawan-kawan kelas mereka debati. Argumen-argumen mereka muntahkan, hingga berbusa-busa. Bukan hanya kawan kelas, dosen pun mereka debati. Entah karena saya kurang bacaan atau referensi, bagi saya, kawan-kawan yang suka ngotot dalam berdebat itu saya anggap pintar.
Belakangan saya tahu, isi debat mereka sebetulnya tak lebih banyak dari isi kepala saya juga. Debat mereka sebenarnya tak ubahnya debat kusir. Menang-menangan. Mungkin, memang begitulah mahasiswa-mahasiswa semester awal. Lalu, dosen pun memaklumi. Kawan-kawan itu memang sebaiknya jangan langsung dicegat kesukaan berdebatnya. Mereka masih dalam tahap perkembangan.
Hingga kira-kira menjelang semester tiga, pemahaman saya belum bergeser.
Ketika benar-benar ada di semester tiga, ketika kelas-kelas dibagi ke dalam kelas-kelas kecil dan besar, saya mendapati kenyataan lain. Kawan-kawan yang suka ngotot dalam berdebat tadi tak lagi sekelas dengan saya.
Kawan-kawan saya di kelas baru memberi saya cakrawala yang lain. Kawan-kawan-kawan di kelas baru lebih beragam, sekalipun secara garis besar masih mirip-mirip: suka berdebat dan ngotot. Tapi, kali ini, isi debatnya sudah agak berbobot. Referensi-referensi diolah, dicarikan titik-titik temu yang paling dekat dengan tema perdebatan. Bukan sekedar cocokologi.
Dari sana, saya mulai mengenal banyak buku. Saya pun jadi tahu ragam pembaca. Ada pembaca yang sekedar membaca. Ada pembaca yang membaca dengan menikmati. Ada juga pembaca yang membaca secara kritis. Ketiganya berlainan, tentu saja.
Orang yang sekedar membaca biasanya cenderung membaca ala kadarnya. Apapun bisa dia baca, tetapi membacanya hanya sampai di permukaan. Dia tak mengerti betul alur bacaannya, apalagi logika berpikir yang dibangun atas bacaan itu.
Orang yang membaca dengan menikmati adalah pembaca yang ceria. Dia pecinta bacaan. Dia menikmati alur dan logika bacaan. Karena dia penikmat, dia gampang bahagia atau murka. Tergantung bacaan apa yang sedang dia hadapi.
Lalu, pembaca kritis adalah pembaca dengan tingkat kedewasaan membaca yang tinggi. Dia membaca untuk membangun atau merobohkan sebuah wacana. Dia kritisi bacaannya. Dia nilai baik-buruknya. Kemudian, dia punya pendirian sendiri yang bisa dia pertandingkan dengan isi bacaan. Pendek kata, pembaca ini punya landasan yang jelas dalam memetakan pokok gagasan penulis sebuah bacaan. Dia tak gampang hanyut dan terpedaya dengan menu bacaan apapun.
Mengenai ragam pembaca ini saya mengetahuinya dari sebuah buku, yang jangankan judul, warna sampulnya pun sudah tak saya ingat. Mungkin saja Hernowo. Saya lupa.
Tak dapat ditampik lagi, kemudian, kalau pemahaman saya akan pintar juga berubah. Dan makin lama makin melebar-lebar perubahannya. Lalu, saya simpulkan, pintar itu ternyata hanya angan-angan bagi orang yang dianggap pintar. Semakin banyak membaca buku, kok ya semakin banyak yang rupanya jauh dari pengetahuan. Tentu saja buku memberi pengetahuan baru, perspektif baru –dengan kedalaman masing-masing.
Menyekolahkan Pikiran
Di antara banyak bacaan, filsafat memberi warna kesembilan bagi pelangi pengetahuan. Filsafat memberi mata pandang yang lebih menukik, hingga ke dasar-dasar yang gelap (unknowable).
Dari filsafat saya mengetahui bahwa pintar itu bukan tujuan. Mungkin ini sama dengan tujuan orang beragama. Banyak orang salah paham di sini. Banyak orang mengira, tujuan orang beragama adalah beribadah. Bukan. Tujuan orang beragama itu menuju atau “menemui” Tuhan. Ibadah hanya sarana.
Begitupun dengan pintar. Orang pergi ke sekolah, menerima informasi ilmu, menelaah dan meneliti, lalu mempraktikkan informasi itu ke tengah-tengah masyarakat. Infomasi tersebut kemudian diuji dan ditempa di sana. Jika sewaktu menguji atau menempa ditemui kenyataan yang saling bertolak belakang, orang pintar harus berlapang dada dan menerima kenyataan bahwa terdapat hal-hal yang masih luput dari bidikan uji coba di masa lalu.
Orang pintar pun mesti bijak. Inilah yang di dalam filsafat permulaan disebut tujuan pintar: bijak.
Jadi, kalau tidak mau bijak, mending tidak perlu sekolah, apalagi sampai ke luar negeri. Negeri ini kebanjiran orang pintar dan paceklik orang bijak.