Saya menyaksikan beberapa postingan teman-teman saya, baik di story WA, story Facebook dan lainnya, dengan nada nyinyir mencibir Covid-19.

Setelah pandemi berlangsung dua minggu lebih, Satgas Covid-19 Jatim menurun Tim untuk memantau keadaan di lapangan. Belum ada tindakan berarti pasca pemantauan, selain memasukkan Bangkalan ke dalam zona merah.
Di antara mereka ada yang berpatokan pada statemen salah satu anggota KSP di akhir tahun 2020 yang lalu. Menurut sang anggota KSP, ada pihak-pihak (oknum) yang menjadikan pandemi sebagai lahan bancakan. Ada motif ekonomi di baliknya.
Harus jujur diakui, di awal mula pandemi mendera, banyak orang, khususnya di desa-desa, yang menyangsikan keberadaan virus mematikan ini. Bukan tanpa alasan. Sebagaimana diungkapkan oleh anggota KSP tersebut, beberapa oknum Nakes, tanpa melihat gejala pasien, langsung menjatuhkan vonis. Bahkan, orang kecelakaan dari sepeda motor pun, kalau dirujuk ke rumah sakit, akan divonis terpapar Covid. Masuk akal kemudian kalau masyarakat banyak yang meragukan keberadaan pandemi, dan lambat-laut mereka resisten.
Keraguan semacam itu masih bertahan dalam banyak benak masyarakat, hingga kini, lebih-lebih di pedalaman. Akses kepada media, Medsos khususnya, yang dapat dengan mudah menemukan berita yang sesuai selera, makin menabalkan keraguan itu. Juga, dan ini tak dapat dipungkiri, adanya oknum dokter atau Nakes yang ambil kesempatan untuk meraup keuntungan pribadi. Yang terakhir ini khususnya terjadi di awal-awal pandemi.
Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan masyarakat. Selain alasan-alasan di atas, barangkali inilah alasan yang paling umum: kurangnya edukasi dan lambannya repons pemerintah.
Dalam kurun dua minggu lebih ini desa saya -terletak di salah satu kecamatan paling kelam dalam serangan covid- mengalami lonjakan kematian paling brutal sejauh yang bisa saya ingat dalam 30 tahun terakhir. Ukuran saya sedernaha: seberapa sering toa masjid menyiarkan kematian, dan seberapa sering orang kampung pergi takziah.
Di kampung-kampung terdalam seperti di kampung halaman saya, kematian disiarkan lewat pengeras suara di masjid, di mana frekuensi suaranya -kalau toanya agak tinggi dan tidak terdapat penghalang berarti- paling jauh bisa mencapai jarak 2 KM. Hari-hari ini siaran demi siaran kematian seperti saling sahut, yang membuat penduduk sedikitnya gelisah dan waswas.
Setiap hari, dari toa terdekat dengan kampung saya yang jaraknya sepelemparan batu, sedikitnya mendengarkan 3 kali siaran. Selalu ada perasaan waswas manakala mendengar “halo-halo” dari toa-toa masjid tersebut, apalagi bukan di jam azan. Penduduk kampung waswas karena setelah halo-halo pasti “innalillah.”

Pemerintah menurunkan Alkes dan cairan disinfektan ke beberapa desa, dan eksekusi penyemprotan dilakukan secara swadaya oleh penduduk.
Sebelum terjadi lonjakan dahsyat kematian ini, penduduk kampung saya termasuk bebal. Anjuran pemerintah, tentang pemakaian masker dan jaga jarak misalnya, tak pernah digubris. Penduduk kampung malah cenderung menganggap bahwa pandemi adalah cerita angin lalu. Malah, ada pula yang berpikiran bahwa virus penyebab pandemi tersebut adalah virus buatan negara tertentu untuk membunuhi orang Islam.
Banyak tokoh masyarakat di kampung yang secara terang-terangan mengajak masyarakat agar membangkang anjuran pemerintah. Memang, sejak pandemi menyeruak dan menyebar ke banyak kawasan di negeri ini, tak satu pun orang di kampung saya yang terpapar.
Pernah suatu saat di kampung sebelah ada orang “melarikan diri” dari rumah sakit. Menurut keluarga, si sakit hanya menderita sakit biasa, sedangkan menurut rumah sakit ia terpapar covid. Maka ketika ada beberapa nakes yang membujuk agar si sakit dikembalikan lagi ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan layak, pihak keluarga malah mengusir para nakes tersebut.
Dan tak lama setelahnya, menyebarlah isu bahwa corona hanyalah bancakan rumah sakit. Rumah sakit, atau oknum rumah sakit, mendapatkan imbalan sekian juta rupiah dari pemerintah, begitu kata masyarakat.
Wacana Liar
Beberapa peristiwa serupa terus berlangsung setelahnya, diikuti oleh “isu” yang lebih menyeramkan. Tentu, menyeramkan itu maksudnya terdapat semacam “keyakinan konspiratif” yang bekerja di balik penyebaran isu dan wabah corona ini.
“Isu konspirasi” tersebut tidak hanya membayangi orang kampung, desa atau kecamatan saya. Namun ia sudah menyebar menjadi konsumsi umum orang kampung yang berada di luar daerah dan luar negeri. Orang kampung saya umumnya adalah pekerja migran, dan sebagian kecilnya perantau di jantung kota. Baik yang jadi buruh migran maupun yang perantau memiliki keyakinan yang sama, dan sama-sama aktif bersuara kepada sanak-saudara yang ditinggalkan di kampung. Saban mereka menelpon, misalnya, di antara hal yang mereka bicarakan adalah pandemi covid, dan covid yang dimaksud adalah virus rekayasa manusia untuk membunuhi sesamanya.
Ketika kini kematian dan orang sakit -dengan gejala sama- merajalela pun, orang kampung dengan keyakinan semula masih banyak. Kebebalan orang kampung sebetulnya diperparah oleh tokoh-tokohnya sendiri, yang seperti kata kebanyakan orang, tokoh-tokoh tersebut sekonyong bertindak seperti ahli.
Orang kampung yang minim wawasan itu makin hanyut dalam aliran hoaks yang meluncur dari tokoh-tokoh itu.
Penanganan Lamban dan Buruk
Sampai sejauh itu, kemanakah Pemerintah? Saya tidak tahu. Ada rengeng-rengeng tak begitu jelas, bahwa Pemkab bakal melakukan ini dan itu. Lalu, rapat-rapat sampai di kantor desa pun digelar.
Setelah nyaris sebulan pandemi menghantam, beberapa Akles baru turun dan kemarin (18/5/21) masyarakat mendapatkan swab, di kantor desa. Kecamatan Geger menjadi salah satu episentrum pandemi di Bangkalan, dengan penanganan yang amat buruk.