
Sumber: pexels.com
Ketika saya hendak menulis judul ini, jujur saja saya terinspirasi tulisan Budi Darma, Penyair Besar dan Penyair Kecil dalam buku antologi cerpen “Kritikus Adinan”.
Dulu, buku-buku pak Budi sangat menarik perhatian saya. Novel, esai serta cerpen-cerpennya saya baca. Bahkan ada yang sampai berulang-ulang.
Bagi saya, pak Budi mampu merakit ide-ide sederhana menjadi tulisan yang memukau. Itu pun tanpa harus mengutip sana-sini, pakar ini dan pakar itu untuk menunjang idenya. Saya pun berkhayal, kelak kalau saya dimampukan Tuhan untuk menulis, saya akan menulis dengan cara itu. Tetapi, kalaupun tidak, saya sudah sangat bersyukur bisa turut menikmati tulisan-tulisan pak Budi. Saya juga bersyukur bahwa pak Budi orang Indonesia, sebab saya akan lebih mudah membacanya. Bayangkan kalau untuk membaca karnya saja saya harus ditemani kamus.
Menurut seorang kritikus sastra yang saya lupa namanya, pak Budi termasuk ke dalam jenis sastrawan surrealis. Entahlah apa itu. Yang saya tahu realisme. Ya, sejenis aliran atau genre sastra yang berpegang kepada nilai-nilai universal. Dulu, menurut buku yang pernah saya baca juga, Manifes Kebudayaan dikategorikan ke dalam jenis ini. Realisme memuncak di Eropa, tepatnya di Prancis di abad 17-an.
Mau dimasukkan ke jenis manapun, bagi saya pak Budi memang menarik. Di atas tadi salah satu alasannya.
Dalam esai “Penyair Besar dan Penyair Kecil”, pak Budi menceritakan perihal pertemuan dua orang penyair di suatu acara di meja makan. Saya menyebut dua orang penyair, karena narator cerita mengarahkan pembaca kepada kesimpulan ini: Penyair Besar dan Penyair Kecil.
Tersebutlah, di meja makan Penyair Besar dan Penyair Kecil bertemu. Mereka adalah dua sahabat karib.
Penyair Kecil bercerita bahwa ia sudah lama menulis puisi. Bahkan, kalau puisi-puisinya dikumpulkan atau dibukukan, puisi-puisinya bisa jadi lebih banyak dari puisi-puisi Penyair Besar. Namun demikian, nasib Penyair Kecil tak semujur nasib Penyair Besar di belantara kesusastraan. Sejak menulis pertama kali, Penyair Kecil sudah berkali-kali mengirimkan naskah-naskahnya ke berbagai media cetak, hingga Penyair Kecil kesal dan menimbang-nimbang untuk berhenti menulis puisi. Bagaimana mungkin puisi-puisi Penyair Kecil yang menurutnya berkelas malah tak mau dimuat oleh koran-koran yang ia kirimi puisi-puisinya.
Karena saat merundung itu Penyair Kecil sedang bersebelahan tempat duduk dengan Penyair Besar, Penyair Kecil mengomel sejadi-jadinya di samping Penyair Besar.
Karena mungkin tak tahan juga Penyair Besar dengan perundungan Penyair Kecil, Penyair Besar memutuskan untuk melihat puisi-puisi Penyair Kecil. Akhirnya, Penyair Kecil mengajak datang saja ke kos Penyair Kecil untuk melihat sendiri puisi-puisi Penyair Kecil. Setiba di kos Penyair Kecil, Penyair Besar langsung ditaboki puisi-puisi Penyair Kecil.
Setelah melihat-lihat sejenak, Penyair Besar berujar bahwa di dalam puisi-puisi Penyair Kecil terdapat banyak kemiripan dengan Puisi-Puisi Penyair Besar yang lain lagi. Penyair Kecil asal comot, lalu diselingi dengan kalimatnya sendiri, yang sebetulnya kalimat Penyair Kecil justru mengecilkan bobot comotan itu.
Penyair Kecil tidak terima mendapat penilaian seperti itu. Penyair Kecil makin meradang. Penyair Kecil malah mengatakan bahwa Penyair Besar tidak berbeda jauh dengan koran-koran yang telah ia kirimi naskah-naskah puisinya.
Ceritanya sampai di situ: Penyair Kecil tidak terima dengan penilaian Penyair Besar. Entah sampai kapan Penyair Kecil tidak terima. Mungkin, kalau ceritanya masih dilanjutkan, Penyair Besar mungkin akhirnya akan mengalah dengan kengototan Penyair Kecil. Penyair Besar lebih baik diam daripada harus terjebak ke dalam debat kusir dengan Penyair Kecil. Lagi pula, Penyair Besar adalah sahabat Penyair Kecil. Tidak mungkin persahabatan diputuskan hanya karena puisi yang semena-mena itu. Mungkin begitulah sikap Penyair Besar di kemudian hari.
Tapi, cerita tidak berlanjut.
Justru selanjutnya saya mau bercerita tentang Orang Kecil dan Orang Besar. Tapi, saya mau bertanya terlebih dahulu: sebenarnya antara Orang Kecil dan Orang Besar itu dibedakan oleh apa, ya? Kenapa juga di antara dua orang yang hanya dibedakan oleh pakaian harus dibedakan pula martabatnya. Orang Besar biasanya berpakaian dengan corak kebesarannya. Katakanlah, Orang Besar perusahaan. Maka, pakaian besar perusahaan ia bawa ke mana-mana. Begitu juga dengan politisi, ilmuwan, pejabat pemerintah, dan lain-lain.
Saya belum bisa meneruskan tulisan ini sebelum benar-benar paham pebedaan yang menerjal di antara dua jenis orang ini.