Memang, mencampakkan buku tidak langsung berakibat remuk. Remuknya nanti, setelah semua usia kita lewati. Seorang kawan yang lain menasehati saya. Berkat wejangan itu saya jadi berpikir. Keras.

Buku bukan saja sekedar jendela. Dia adalah teman karib yang selalu setia menyehatkan kita, dalam berbagai suasana dan keadaan (Kredit foto: pexels.com/Element5 Digital)
Saya masih mengingat dengan persis wejangan guru sewaktu SD dulu. Katanya, buku adalah jendela dunia. Banyak-banyaklah membaca agar cakrawalamu terbuka.
Hari ini saya mengingat wejangan itu dengan perasaan waswas. Di satu sisi, saya meyakini kebenaran wejangan itu. Di sini lain, buku-buku saya di rak tampak kusut. Buku-buku di rak mungkin sudah berkali-kali dikencingi ngengat atau makhluk sejenis. Saya lihat, selain sudah sangat kusam, tulisan-tulisan judul di sampul-sampulnya nyaris tak terbaca. Ada jerebu yang begitu tebal di sana.
Oh, iya, saya pun baru ingat kalau buku-buku di rak itu sudah sekian purnama tak saya sentuh.
Perasaan waswas saya masih ditambah lagi dengan kunjungan seorang kawan belum lama ini untuk menghadiahkan buku-bukunya kepada saya. Ah, mudah-mudahan buku hadiah kawan yang baik hati itu tak bernasib sama dengan buku-buku di rak, saya bergumam dalam hati.
Bagaimana caranya supaya tak bernasib sama? Saya mulai dengan penataan-penataan. buku-buku ditata kembali berdasarkan bidang. Istilahnya, saya adakan register. Tentu saja itu saya lakukan setelah buku-buku yang beselimut debu di rak saya bersihkan. Dengan hati-hati. Dan dengan perasaan riang-gembira. Eh.
Begitu beres-beres sudah saya anggap sempurna, perasaan waswas itu kembali menyergap. Bagaimana saya memulai semua ini? Bukankah sudah lama saya campakkan seluruh isi buku itu? Ah, untunglah yang saya campakkan bukan anaknya mertua. Kalau saja anaknya mertua, saya sudah di-DO seremuk-remuknya.
Memang, mencampakkan buku tidak langsung berakibat remuk. Remuknya nanti, setelah semua usia kita lewati. Seorang kawan yang lain menasehati saya. Berkat wejangan itu saya jadi berpikir. Keras.
Itu sebabnya pikiran saya langsung melompat jauh ke belakang. Masa-masa kuliah merimbun di kepala. Juga ketika giat-giatnya berorganisasi. Berdiskusi. Menghadiri seminar. Atau saat-saat bergairahnya membuat forum-forum diskusi. Ya, betul. Saya dan beberapa kawan memang membuat sekian kelompok diskusi, mulai diskusi soal wacana-wacana dunia hingga urusan tetek-bengek dalam rumah tangga. Saya bergairah sekali waktu itu.
Dengan mengingat banyak hal di masa lalu, ada semacam aliran listrik yang diam-diam menyengat dari balik kepala. Saya tersentak dalam beberapa saat. Ada kegairahan yang sekoyong meletup-letup.
Namun demikian meletup-letupnya, saya masih bingung dan bimbang hendak saya mulai dari mana untuk membaca lagi. Melihat buku-buku teori, saya sudah tidak butuh teori. Melihat buku-buku hasil penelitian, saya bukan orang dengan kebutuhan khusus memilah-milah data. Melihat buku-buku sastra, saya tak ada keinginan untuk menuliskan catatan kritik sebagaimana saya lakukan sewaktu kuliah dulu. Akhirnya, saya putuskan untuk membuka buku kumpulan esai. Saya pikir, ini yang paling mungkin, dan tidak njlimet. Habis sekali baca.
Memulai membaca lagi dengan esai sangat membantu memulihkan gairah. Esai itu ringkas, padat, dan ringan. Iya, ringan. Isi maupun bahasa yang digunakan. Mungkin ini pula yang dimaksud Ignas Kleden: esai adalah omongan dalam bentuk tulisan.
Buku-buku berat macam filsafat sangat disarankan untuk tidak dibaca dalam kondisi pemulihan. Pasalnya, selain buku-buku tersebut memaksa kita berpikir keras, dampaknya bagi kita, mungkin sehabis membaca beberapa baris atau dua-tiga alenia kita langsung eneg lagi dengan buku. Membaca filsafat sama dengan membebani bahu dengan puluhan kilo setelah sebelumnya menganggur dari angkat-angkat beban dalam waktu lama. Tidak langsung patah tulang sudah lumayan.
Juga, tidak disarankan untuk langsung melahap buku sebanyak-banyaknya. Ini pun bisa berdampak serius kepada setop mendadak. Ingat, gairah ini adalah sengatan listrik arus kecil. Yang langsung membakar dan menghanguskan itu arus besar.
buku pengetahuan Pikiran Menghadapi Buku