Syahid dan martir menyiratkan kematian yang sangat mulia, dan hanya mereka yang seluruh tenaga dan pikiran tercurah untuk sebuah ideal kemaslahatan hidup bersama yang bisa menyemat. [mhdc]

Bahasa, selain sebagai alat komunikasi, ia juga merupakan penanda (sign) bagi suatu citarasa semantik yang berhubungan realitas di luar bahasa sendiri. (Kredit foto: unsplash.com/amandor loureiro)
Ada beberapa kata dalam bentuk verba yang disematkan kepada orang meninggal; berpulang, meninggal, mati, mampus dan -akibat berpulangnya Mbah Moen, KH Maimoen Zubair, dan dalam rangka penghormatan- terdapat ungkapan lain yang belum ada di KBBI, yaitu “kembali ke keharibaan termulia” (al-rujuk ila al-rafi al-a’la).
Kepulangan orang-orang hebat, besar dan amat berjasa bagi manusia memang selalu “dicarikan” padanan ‘kepulangan’nya dengan ungkapan yang kira-kira sepadan dengan jiwa kebesarannya.
Tidak adil manakala menisbatkan kematian orang besar dengan kematian biasa, seperti ungkapan pak Jakob yang terkenal, yang dinarasikan ulang oleh Ninok Leksono Redaktur Senior Kompas (10/9), “pergi itu kematian kecil … Namun meninggal adalah satu kehilangan besar”.
Orang besar hanya bisa dilukiskan oleh narasi besar pula.
Dalam bentuk nomina (terkhusus untuk objek manusia) terdapat, misalnya syahid dan martir. Kedua kata ini dipinjam dari kosakata dua agama terbesar, Islam dan Kristen.
Karena terserap dari rumpun wacana keagamaan, dan masing-masing agama membebani keduanya dengan muatan makna ilahiah, keduanya seperti berada dalam mercusuar nilai masing-masing, yang hanya bisa diraih oleh para pemeluknya yang gigih membela dan memperjuangkan “yang ilahiah”.
Makna ‘syahid’ bergeser lebih profan-manusiawi sejak resolusi jihad digaungkan pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari. “Yang ilahiah” kini membumi.
Sekalipun tetap terdapat muatan teologis dalam ‘syahid’ itu, tetapi beban-beban nilai intrinsik agama jadi lebih longgar. Dengan kata lain, yang gugur di medan perang tak harus orang alim dan mengamalkan ritual agama demikian asyik. Siapapun yang gugur dalam perang fisik demi Tanah Air berstatus Syahid.
Setelah itu, ‘syahid’ kembali mendekam ke peraduan, dan ia kembali tampak kudus dan ilahiah. Semestinya, pergeseran cara hidup adalah pergeseran tantangan. Artinya, terjadi pergeseran ‘perang’ dalam ranah nasionalisme yang kini sudah tak berbentuk perang fisik.
Mereka yang berperang habis-habisan agar martabat manusia terungkit, hidup dalam keadaban, dan lainnya merupakan paket komplit dari makna perang yang terkini. Dan bukankah Soetan Sjahrir sudah mengingatkan, bahkan sejak Si Bung Besar hidup, dengan jargon “revolusi kerakyatan?” Dan itu artinya, jihad dalam kawah nasionalisme masih terus berdetak selama Republik berdiri.
Syahid dan martir menyiratkan kematian yang sangat mulia, dan hanya mereka yang seluruh tenaga dan pikiran tercurah untuk sebuah ideal kemaslahatan hidup bersama yang bisa menyemat.
Pak Jakob sangat mungkin menyandangnya. Ideal-ideal Pak Jakob untuk kehidupan demokrasi dan kemanusiaan adalah legacy seorang manusia paripurna. Kompas yang ia dirikan adalah corong pengkhidmatan itu, yang menyanggah demokrasi dan kemanusiaan secara otentik hingga akhir hayat.
Pasang-surut makna semantik bahasa adalah hal lumrah, juga tidak menentu. Bisa jadi suatu kosakata bermakna positif di masa lalu, tapi bermakna negatif sama sekali di masa kini. Tengok, misalnya, kata gerombolan. Dulu, gerombolan bermakna positif. Organisasi kemasyarakatan itu adalah gerombolan. NU, Muhammadiyah, dan lainnya adalah gerombolan.
Sekarang, lema gerombolan kerap disertai penyamun, maling, atau yang semakna dengan keduanya, dalam KBBI.
Seberat apa pun kondisi Republik dalam politik, ekonomi, dan kini plus pandemi, semoga tidak membengkokkan makna martir dan jihad. Kita tetap butuh kata-kata serapan tertentu tetap berpijak pada nilai semantiknya yang otentik dan orisinal.
Makna Martir Makna Syahid martir syahid