Hybernasi.com. –Kolom Agama. Video pendek Oki Setiana Dewi sudah terlanjur meluncur ke hadapan pemirsa paling brutal di dunia, warganet Indonesia. Kecaman pun datang bertubi. Dan yang paling ganas: Oki Setiana Dewi aka ustazah Oki dianggap menjustifikasi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Publik warganet menganggap, ini merupakan kesalahan Oki Setiana Dewi.
Apa betul Oki Setiana Dewi membenarkan KDRT? Apa sih sebetulnya kesalahan dia?
Dalam rekaman batok kepala publik, Oki Setiana Dewi adalah seorang aktris. Dia bukan daiyah (penceramah agama). Betapa pun terdidiknya Oki, kapasitasnya yang utama ada dalam seni peran. Dengan kata lain, publik lebih memercayainya sebagai artis daripada sebagai dai-agamawan. Namun, tentu, sah-sah belaka bila dia berbicara Agama. Apalagi, untuk tema-tema tertentu dia memang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup untuk itu.
Di luar Oki, banyak pula artis yang sekonyong menjadi agamis, dan lalu tak tahan pada godaan untuk “meniti karir” sebagai dai-agamawan.
Jenis kedua ini, umumnya, adalah produk dari gelombang kapitalisasi agama di kalangan masyarakat urban. Gelombang ini, setidaknya, berlangsung sejak kran demokrasi terbuka lebar, di mana ekspresi individual dan personal mendapatkan ruang untuk dilemparkan. Cirinya utama gelombang kapitalisasi tersebut: gandrung pada sesuatu yang dianggap sebagai atribut agama.
Tidak mengherankan bila belakangan beberapa artis juga “membintangi” sajian-sajian agama di televisi.
Namun, baik yang terdidik secara memadai dalam agama atau tidak, artis cum agamawan ini sebetulnya sama-sama berkubang dalam pusaran kesalahan awam keberagamaan yang sama. Dan secara khusus untuk Oki, kita bisa melacak akar kekacauan keberagamaan di negeri ini.
Godaan Berbicara di luar Kemampuan
Bukan rahasia bila seorang agamawan cenderung menjawab seluruh pertanyaan bertema agama, apa pun jenis pertanyaannya. Atau, agamawan cenderung berbicara tema-tema agama yang sebetulnya bukan konsentrasi pendidikannya.
Agamawan seperti memendam rasa malu tak terperi bila tidak menjawab pertanyaan umat dan jamaah, apalagi pertanyaan-pertanyaan tersebut beririsan dengan atau sengaja disangkut-sangkutkan dengan agama. Agamawan pantang bicara, “saya tidak tahu”, “saya belum memelajari materi tersebut”, dan pertanyaan lain yang sejenis. Agamawan adalah “lidah Tuhan” yang tahu segalanya (knowing everything) dan selalu benar (doing no wrong).
Padahal, jika merujuk pada tradisi penerbitan fatwa ulama di masa lampau, jawaban “tidak tahu” atau yang sepadan itu lumrah belaka. Seorang ulama yang dimintai pendapat tentang suatu perkara di mana pada saat bersamaan ulama tersebut belum mengerti betul duduk perkaranya secara mendalam, jawaban semisal “silakan pergi ke ulama ini” atau “saya akan menanyakan pertanyaan saudara kepada guru saya” adalah kelaziman.
Kenyataan yang teramat kontras terjadi saat ini, di mana ulama seakan mewakili pemilik utama saham agama: Tuhan.
Hal tersebut masih ditambah, misalnya, dengan minimnya keterbukaan literasi sang agamawan. Maka, dapat dipastikan bahwa yang keluar dari mulutnya bukan butiran-butiran mutiara, melainkan koral bara yang siap membakar dan melalap kayu bakar kemarahan umat.
Keberagamaan tanpa Konteks

Aku bersumpah dengan menyebut nama Tuhan, jika engkau kecewa atas perilaku puteraku, ketahuilah bahwa aku lebih bersedih. Dan aku turut merasakan apa yang membebanimu … Jika anakku menyakitimu, yakinlah aku akan menghapus namanya dari dalam hatiku. Aku tidak akan menjawab salamnya. Dan aku tidak akan melayat jenazahnya saat ia meninggal. Jangan bersedih. Semoga Tuhan selalu bersamamu.
Dahulu, para peneliti agama acap kali menyandarkan ‘keberagamaan tanpa konteks’ kepada agamawan tradisionalis yang umumnya menetap di pedalaman desa.
Kehidupan yang terisolir dan jauh dari akses informasi menjadikan agamawan-agamawan tersebut membawakan agama yang terlempar jauh dari konteks kehidupan masyarakatnya yang terkini. Agama adalah ajaran suci yang tidak menyediakan jalan modifikasi atau kontekstualisasi. Serapan pemahaman kepada teks-teks klasik dijalani secara skriptualis, pun dalam perkara-perkara muamalah (sosio-kultural) yang terus memperbarui diri bersama denyut alam pikiran manusia.
Namun, tentu saja tidak semua hipotesis itu bisa diamini. Para penyebar agama yang mendapatkan sentuhan –langsung atau tidak- para penyebar Islam yang populer dengan sebutan Walisongo, adalah para agen agama yang sekaligus bertindak sebagai agent of change di lingkaran ekosistem masyarakatnya masing-masing. Menurut Clifford Geertz, pembawa risalah kenabian ini di lain pihak juga bertindak sebagai cultural filter (filter kebudayaan) yang turut melestarikan lokalitas. Para penyebar Islam sejak abad 15 awal ini sebagian besarnya bahkan terlibat langsung dalam pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
Agamawan bekerja melalui konteks sosio-kultural agar agama yang diyakini sebagai jalan kebaikan itu betul-betul nyata dan berlaku secara kontekstual dalam kehidupan bersama.
Pernyataan Oki Setiana Dewi tentang kesabaran istri dalam penghadapi perlakuan buruk suami bukan saja menjauhkan agama dari nilai-nilai luhurnya, namun juga berpotensi me-“mansukh” tujuan kepemelukan agama oleh manusia. Bukankah Nabi diutus demi tegaknya moralitas, sebagaimana tergambar dari hadis yang beliau sampaikan sendiri?
Baca juga: Kembali ke Pesantren, Kembali ke Legacy Leluhur
Akhirul Kata
Agama betul-betul mendapatkan ujian berat, justru di saat para pemeluknya sedang gandrung beragama.
Persoalannya, bersediakah dai-agamawan –yang di pundaknya melekat beban tanggung jawab untuk membawakan agama secara kontektual, manusiawi, dan berkeadaban? Jawabannya selalu tidak mudah.
agama agamawan gelombang kapitalisasi keberagamaan tanpa konteks oki setiana dewi para penyebar islam