Agama tak akan pernah selaras dengan sains, karena agama adalah ortodoksi dan tak kenal kritik, sedangkan sains terus berkembang sesuai dengan temuan-temuan terbaru.

Pembicaraan mengenai eksistensi Tuhan adalah pembicaraan yang cukup tua, setua akal mengeksplorasi alam material. (Kredit foto: pexels.com)
Kang Hasan (Hasanudin Abdurakhman) menurunkan serial postingan tentang Tuhan di page facebooknya. Tiga seri tulisan dia unggah, dalam tema “penyangkalan eksistensi Tuhan”.
Bagi aktivis facebooker yang rajin membaca tulisan-tulisannya, ide kebertuhanan a la Kang Hasan seperti yang tampak dalam postingan kali ini sebetulnya tak ada yang baru.
Dia adalah orang yang berpegang pada pripsip keilmiahan argumen secara ajek. Argumentasi ilmiah, bagi Kang Hasan, yang berpegang kepada objektifitas materi harus dipertahankan, tak boleh dicampur-adukkan dengan argumentasi yang berbasis pada kepercayaan, iman, atau semacamnya.
Inilah kenapa dalam banyak postingan dia kerap tampak mengingkari eksistensi Tuhan.
Tuhan yang Pespektifal
Sebetulnya, kalau berkaca kepada perspektif yang dia pakai dengan agak jauh, yang dia ingkari sebetulnya adalah konsep tentang Tuhan, sama seperti yang menimpa kebanyakan penganut ateisme. Barangkali, salah satu latar belakangnya adalah kejengahan dia sendiri melihat cara-cara orang beriman yang terus mengupayakan dalil ilmiah untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Termasuk juga temuan-temuan sains yang terus dipaksakan agar selaras dengan teks-teks keagamaan.
Maka, serial tulisan ini sebetulnya lebih tampak sebagai kritik, persisnya agamawan mestinya melakukan otokritik dengan cara menambah wawasan sains. Agama harus tetap tegak sebagai kepercayaan agar ia tetap berdiri kokoh dalam menara sakralitas.
Bagaimankah kalau agama dipaksakan ilmiah? Agama yang dipaksakan ilmiah harus siap dibedah sebagaimana ilmu membedah objek material kajiannya. Agama harus siap menghadapi kritik, penyangkalan, dan lainnya. “Tuhan” pun harus siap dipreteli, dipertanyakan atau disangsikan.
Sejauh yang dapat kita telusuri, Islam khususnya, sejak nomenklaturnya pertama kali diperkenalkan hingga ia berkembang dan memuai ke dalam banyak sekte dan aliran, belum ada satu pun sekte dalam agama ini yang mengizinkan pembedahan secara radikal-kritis terhadap ajaran-ajarannya. Bukan hanya Tuhan, sang super absolut, Bahkan Nabi Muhammad saja tidak diperkenankan dilukiskan perawakan lahiriahnya. Pembatasan seperti ini tentu bukan scientific method.
Agama tak akan pernah selaras dengan sains, karena agama adalah ortodoksi dan tak kenal kritik, sedangkan sains terus berkembang sesuai dengan temuan-temuan terbaru.
Dalam soal hubungan agama-sains tersebut, di lain pihak, perguruan-perguruan tinggi berbasis keislaman di Tanah Air justru memelopori ikhtiar unifikasi keduanya. Kecenderungan ini lebih-lebih menyeruak sejak memasuki milenium kedua. Di awal tahun 2000an, jika tak salah ingat, buku-buku bertemakan sains-agama muncul dan laris di pasaran. Buku-buku tersebut, seperti saya sebutkan di atas, berusaha mencarikan dalil dan pembenar agama bagi temuan, inovasi dan kreativitas sains.
Di awal milenium tersebut, universitas negeri berbasis keislaman belum ada, selain sebatas institut atau sekolah tinggi. Di sana pun jurusan umum berbasis laboratorium juga masih bisa dihitung jari.
Ketika jendela milenium terbuka kian lebar dan pemerintah memberikan kelonggaran-kelonggaran yang memungkinkan institut-institut di atas beralih status, barulah replikasi wacana di awal 2000 “menemukan wadah”. Tidak mengherankan manakala seorang calon sarjana universitas keislaman harus menyusun Tugas Akhir atau skripsi yang lembar pertama tugas akhirnya harus berisi kutipan ayat atau hadis. Namun, selepas kutipan ini tak ada pembahasan lebih lanjut, termasuk bagaimana korelasi konseptual dan praksisnya.
Di sana, seorang sarjana mengutip sebuah ayat, dan saat memasuki halaman-halaman lain dalam pembahasan, kutipan-kutipan ini ditinggalkan begitu saja. Jika demikian, untuk apa mengutip kalau koherensinya dengan pembahasan cuma sebagai stempel? Di sinilah persoalan besar perguruan tinggi kita menganga, dan sepertinya belum ada kehendak untuk menambalnya. Atau, memang tidak dianggap sebagai persoalan?
Sains sebaiknya memang dijauhkan dari kompromi-kompromi kepercayaan, termasuk di dalamnya agama. Sains harus dimerdekakan dari jerat ortodoksi apapun agar dia dapat mengeksplorasi berbagai objeknya dengan leluasa tanpa harus dibayang-bayangi ketakutan dikenai pasal ini atau ayat itu. Sains yang merdeka akan membawa cahaya cerah pengetahuan, di mana pada akhirnya kita juga yang menikmati.
Di manakah peran Tuhan?
Kembali ke soal yang di atas: Karena agama pada dasarnya adalah kepercayaan, termasuk kepercayaan pada eksistensi “nilai tertinggi,” agama bisa bersanding atau tawar-menawar dengan sistem nilai lain yang bekerja secara kasatmata di tengah kehidupan. Agama, misalnya, bisa menjadi instrumen pendorong agar manusia melakukan kebaikan secara suka-rela dan tanpa pamrih. Agama masuk di situ, dengan membawa janji-janji ukhrawi: siapa saja yang melakukan kebaikan tanpa pamrih akan diganjar Tuhan dengan kebaikan lain yang lebih dahsyat di alam baka.
Dus, Tuhan yang penuh kesakralan akan tetap sakral. Dia agung tanpa harus manusia buktikan dengan sains, yang justru membatalkannya. Yakni, bagaimana mungkin yang super absolut harus “mengikuti” pola yang Dia ciptakan sendiri? Dia ada, seperti kata penyair Hamzah Fansuri, di “dalam kamar” masing-masing manusia.