Bagaimana kita membayangkan sebuah negara dengan sistem politik yang memungkinkan partai politik terus beranak-pinak, atau presiden memerintah dengan komposisi pembantu yang tambun. [reposting tulisan lama/mhdc]

Majority rule (pemerintahan mayoritas) akan menghilangkan sistem oposisi dalam pemerintah, dan itu sebabnya politik kehilangan keseimbangan (Kredit foto: kompas.com)
Dada rakyat yang dalam beberapa pekan ini berdegup tak karuan sudah dijawab oleh presiden. Resmi. Presiden sudah meresmikan para pembantunya.
Bagi para penyokong garis keras di Pilpres lalu pastilah dihantui perasaan sambur-limbur. Bagaimana tidak, Pertama, presiden memilih para pembantu dari kalangan yang sejak awal diwanti-wanti agar “dijauhi”: militer. Kedua, perselisihan tajam antar kubu di Pemilu yang lalu tidak mengerucut pada pembentukan pemenang-oposisi. Dengan ditariknya Prabowo ke kubu pemenang otomatis meniadakan atau bahkan menganulir oposisi riil dalam politik kita, dan ini tidak lazim sejak reformasi.
Berikutnya, dengan memasukkan militer ke dalam tubuh kementerian semakin menguatkan sinyalemen bahwa Negara sedang krisis berat keamanan. Kabarnya, ekstremisme. Betulkah?
Agenda Reformasi
Salah satu agenda reformasi 1998 adalah mengembalikan militer ke barak. Pengalaman kelam 32 tahun di bawah Orde Baru itu pemicunya.
Reformasi kemudian memang berhasil menghapus dwi fungsi ABRI, pemisahan Polri dari ABRI, dan penarikan ABRI dari kursi representatif di Parlemen. Dan hingga 20 tahun kemudian, militer benar-benar bekerja di barak, kecuali para purnawirawannya. Pensiunan militer, entah karena pengalaman dalam karir kedinasan atau terdorong untuk mengabdi, pun ramai-ramai menerjuni dunia baru yang penuh intrik ini.
Langkah mereka juga tidak surut sekalipun suara-suara sumbang mengaum dari banyak aktifis. Malah, entah kebetulan atau tidak, militer seakan kembali menemukan momentum untuk tampil lagi. Kita tahu, sejak Pemilu 2009 sudah kencang berhembus isu tentang ketakmampuan sipil memimpin negeri. Ingatan masyarakat seperti langsung beringsut di hadapan wacana-wacana ini; Habibie seumur jagung, Gus Dur dilengserkan dan Mega gagal meraih kursi presiden. Dan di saat bersamaan angin pancaroba politik dibelokkan: sipil tak mampu, dengan, sekurangnya tiga presiden pasacareformasi.
Kini, militer benar-benar di puncak. Inikah kabar buruk bagi demokrasi setelah kita bersusah-payah menerjang penyumbatnya?
Isu dalam pasar wacana politik akhir-akhir ini membuncit ke ekstremisme, ekstremisme Islam. Publik membelinya dengan harga murah dari para pendengung, yang “uraian”nya turun secara bersahutan di ruang media sosial. Mungkin memang benar ada “Kakak Pembina” yang mengorganisasikan kegiatan mereka. Beberapa pekan lalu, Tempo bahkan sempat berang dengan kehadiran mereka: bagaimana mungkin uraian berbasis data keras, dikerjakan secara serius dan dengan berpayung kode etik yang ketat menjadi tak berarti di hadapan satu orang, yang jangankan keahlian, pengetahuannya pun buram sama sekali.
Ada orang yang mengingatkan perkataan Tom Nichols yang masyhur, “the death of expertice”.
Lalu, wacana ekstremisme bergerak di ruang publik dengan amat liar. Ia common enemy. Dalam ingatan publik, ekstremisme adalah hantu raksasa yang mengguncang dan dibekali kemampuan mengoyak apapun yang dihadapi. Melalui mimbar-mimbar pengajian atau kegiatan kemasyarakatan, hantu itu dilesakkan ke udara. Rakyat yang menyimak membayangkan wajah hatu yang menyeramkan itu: ia telah berhasil menyayat Timur Tengah ke dalam kepingan-kepingan peperangan sektarian. Rakyat tentu tak akan rela tanah kelahirannya mengalami kenahasan itu.
Memang tak bisa ditampik bahwa ekstremisme itu ada. Perangai kekerasan laten dari ektremisme itu nyata. Dan kita tentu mengutuknya. Ia adalah musuh kemanusiaan, dari mana pun asal dan tempat kelahirannya. Namun, ia segera menjadi lain sama sekali manakala ia bertaut dengan politik, dan dalam rumah politik itu terdapat penghuni yang memang secara lazim mengerjakan kerja-kerja pengamanan. Dan tiap kata “pengamanan” mestilah jatuh setelah diksi huru-hura, chaos, dan lain-lain.
Lalu, bagaimanakah bila chaos lebih cepat selesai daripada rencana penanggulannya? Itulah yang kita lihat dari peristiwa yang menimpa mantan Menteri Polhukam Wiranto. Bagaimana mungkin polisi membuat press lesease secepat kilat mendahului interogasi dan penyidikan? Dan puncaknya adalah pernyataan Wakapolri di depan para wartawan, “kami sebetulnya sudah mengikuti kedua orang teroris ini jauh-jauh hari …” Kalau petugas pengamanan bisa kecolongan, sedang mereka tahu bahwa mereka akan kecolongan, kecolongan macam apakah itu?
Kita hanya bisa menebak-nebak, sebab tebakan kita paling jauh berhenti pada suuzon. Sekalipun pada saatnya kelak ada gelombang protes yang lebih besar daripada protes-protes mahasiswa tempo hari, protes itu mungkin akan bernasib sama: lunglai di hadapan para pendengung, atau pemrotesnya segera terbang ke langit karena berurusan dengan “pihak pengamanan”.
Pekerjaan Rumah
Bagaimana kita membayangkan sebuah negara dengan sistem politik yang memungkinkan partai politik terus beranak-pinak, atau presiden memerintah dengan komposisi pembantu yang tambun (baca: majority rule).