
Sumber: pexels.com
Untuk mengetahui hobi dan kesenangan seseorang, cara paling mudah adalah deng melihat latar belakangnya. Asal-usulnya.
Kesenangan petani adalah segala hal yang berurusan dengan pertanian. Kesenangan nelayan adalah segala hal yang berbau laut. Begitu seterusnya. Kesenangan atau hobi memang bisa dilihat dari latar belakang seseorang.
Hanya saja, bagaimana mungkin pekerja kantoran bisa menyenangi hal lain di luar urusan perkantoran?
Dalam terminologi psikologi, ada yang disebut katarsis. Katarsis adalah momen pelepasan emosi. Jadi, dia semacam daya kejut: segar sementara sebelum beku lagi dalam waktu yang lama. Orang-orang perkotaan memerlukan recovery semacam ini. Mungkin sekali secara tak sadar rutinitas harian membuat mereka berangsur jadi robot. Mereka bekerja berdasarkan remote control manajemen, gerak-gerik dan sebagian besar perangkat ‘manusia’nya selama di kantor dikendalikan oleh tangan atasan melalui target-target performa tertentu, pencapaian-pencapaian ini-itu, dan seterusnya.
Dengan begitu, orang kantoran yang robotik itu cenderung satu haluan cara berpikirnya, seragam cara memandangnya.
Dari sanalah mereka memerlukan daya kejut. Dan dari sana pula kita paham bahwa plesiran orang-orang kantoran ke tempat-tempat wisata mestilah dipahami dalam konteks itu. Mereka memerlukan daya kejut, yang dengannya memberi kesegaran sementara kepada arus robotika yang mengalir dalam rutinitas, yang bukan saja rutinitas itu berlangsung dalam hitungan hari, melainkan juga bisa bulanan atau bahkan tahunan, puluhan tahun.
Yang ingin saya bicarakan bukan sejenis orang kantoran. Ini orang udik. Tulen.
Malam ini saya berkesempatan kopdar dengan kawan-kawan saya dari desa. Mereka bertiga. Ke Malang niat plesiran. Sebut saja plesiran, karena niatnya memang plesiran. Istilahnya, cari angin. Kalau setelah cari angin ternyata tidak dapat angin, itu nasib (eh!).
Kawan-kawan ini, sebagaimana saya, orang-orang gunung. Gunung yang kebangetan gunungnya. Kalau saja definisi gunung itu adalah bagian permukaan bumi yang mencolok ketinggiannya, dengan komposisi terbanyaknya batu, maka gunung yang paling tulen adalah gunung di desa kawan-kawan, eh saya juga.
Gunung versi orang desa kawan-kawan memang berbeda dengan versi Jawa. Versi sana sama sekali bukan versi sini. Mendekati saja barangkali tidak sama sekali. Versi sana, gunung itu serupa anak kesekian dari bukit versi sini. Pendek kata, jangankan disebut bukit, disebut cicit-buyutnya bukit saja bahkan tidak layak.
Tapi, bukan itu soalnya.
Ini adalah plesirannya orang batu ke Batu (orang Batu sendiri menyebutnya mBatu, bukan Batu). Semacam bertemunya dua gunung dalam satu jiwa (eh!).
Kenapa orang batu kok ke Batu, inilah salah satu bukti bahwa kesenangan itu berasal dan terbentuk dari alam. Panggilan alam dalam benak tak bisa dimungkiri. Jiwa batu, badan batu, tangan batu, dan pikiran yang batu mestilah memberi impuls kepada saraf-saraf sensorik untuk menyampaikan berita batu ke dalam tabung pengelolahan budi di kepala. Yang keluar dari bilik kepala, kemungkinan besarnya, kemudian adalah batu, sejenis batu, atau terminologi, kosmologi, atau kesadaran batu.
Lalu, kesenangan terpola. Hobi terbentuk. Dan kecenderungan terbangun –yang kesemuanya beraromakan batu. Kawan-kawan ini contohnya. Dari batu ke Batu (eh!).
Kawan-kawan ini sebetulnya belum seberapa tingkat kefanatikan dan militansinya dengan batu –dibanding saya yang bahkan sampai rela melepas baju udik- sebab, mungkin saja kawan-kawan ini ke Batu bukan seutuhnya demi plesiran dalam pengertian di atas. Ada kemungkinan pula bahwa mereka mendambakan kejutan juga, sebagaimana orang kantoran tadi. Saya pun tidak berani menjamin mereka akan tetap pada niat awal. Sebab, Batu bukan saja kota kecil dengan pernak-pernik metropolis yang sudah mendekati cukup, tetapi lebih dari itu. Batu memiliki segala sesuatu yang hanya sedikit kota saja di negeri ini yang sepadan dengan Batu. Dan untuk kawan-kawan saya ini, Batu adalah satu-satunya.
Lalu, apa yang kawan-kawan ini hendak rengkuh dari Batu, itu pertanyaan saya juga.
Tapi, saya mulai kuatir, penyakit kantoran itu jangan-jangan mulai menjalar juga ke desa. Soal gerak robotik itu. Gerak angan-angan, pikiran, dan emosi.
Orang desa pun sudah banyak yang seragam. Entah pengaruh apa. Globalisasi? Mungkin ada benarnya. Tapi globalisasi yang mana? Anthony Reid, sejarawan yang ulet itu, melalui novel Mataram, malah menggambarkan sebaliknya. Globalisasi itu sudah dijalankan masyarakat kita sejak sekira empat abad yang lalu.
Nah, karena saya tidak tahu arah dan tujuan tulisan ini, maka saya memilih mengakhiri tulisan ini dengan tanpa mengakhiri.
Selamat kepada kawan-kawan yang sedang liburan. Semoga menyenangkan. Dan semoga tidak terjebak ke dalam tulisan konyol macam begini (eh!).