Hybernasi.com. Polisi baru saja memborgol pimpinan Khilafatul Muslimin, Abdul Kadir Baraja. Dia diduga kuat terlibat dalam “konvoi khilafah” di Jaktim beberapa hari yang lalu. Dalam beberapa broadcast di laman Medsos, Abdul Kadir Baraja tampaknya memang menginginkan khilafah Islamiyah tegak di negeri ini. Tema yang klasik, tentu saja. Namun, kita mencoba penyegaran kembali lewat uraian “Dalil tentang Khilafah” oleh ustaz Muzakki, S.Pd (sekretaris Aswaja Center MWCNU Geger, Bangkalan, dan pengasuh kajian Islam “Ngaji Sunnah 1926” di kanal Youtube).

Sumber foto: detik.com
Khilafah atau Imamah dalam pengertian ‘sistem kepemimpinan umat’ sudah menjadi konsensus bersama di kalangan ulama bahwa kepemimpinan itu bersifat “harus”. Dalam arti sederhana, sebuah komunitas (negara, misalnya) mestilah memiliki kepala di pucuknya.
Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa tak lama pasca ditinggal Nabi Muhammad SAW, hal prinsipil pertama yang diperbincangkan oleh kalangan sahabat adalah mengenai pengganti Nabi yang perannya sebagai pemimpin umat. Barangkali, para sahabat menyadari dengan penuh bahwa syariat Islam tidak mungkin dijalankan dengan aman, damai dan penuh perlindungan tanpa adanya sosok pemimpin dalam komunitas masyarakat Islam.
Di kemudian hari, oleh sebagian kecil kelompok muslim khilafah dipahami sebagai ideologi atau sistem bernegara. Khilafah diposisikan sebagai seperangkat konstitusi, yang membawakan sifat simbolik dan normatif sekaligus. Model pemikiran seperti ini digagas oleh pemikir Islam, khususnya al-Maududi dan Hasan al-Banna.
Penolakan
Formalisasi syariat Islam dengan sistem khilafah sebagaimana dicanangkan oleh al-Maududi dan al-Banna tersebut mendapatkan penentangan dari dalam umat Islam sendiri, di antaranya adalah Ali Abd ar-Raziq. Menurut Ali Abd ar-Raziq, bentuk pemerintahan merupakan preferensi bebas manusia berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasio.
Pemikir Islam kontemporer, Syaikh Wahbah al-Zuhaili, tampaknya sejalan dengan pemikiran ar-Raziq. Dalam buku “Fiqh al-Islam”-nya, Syaikh Wahbah mengatakan bahwa tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk menerapkan khilafah. Bentuk Negara berada dalam ranah ijtihadi, sehingga potensi perbedaan pendapat mengenai bentuk negara antar satu dengan lainnya sangat terbuka untuk terjadi.
Agaknya, pemikiran al-Raziq memang lebih ideal diterapkan di negara yang pluralis seperti Indonesia. Di samping karena fakta sejarah, juga karena pemikiran al-Raziq sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Empat belas abad yang lalu Rasulullah menginformasikan bahwa usia khilafah –sebagai ideologi atau sistem kenegaraan- hanya berjalan selama 30 (tiga puluh) tahun, dan masa itu sudah berakhir sejak lama seiring berakhirnya kekhalifahan sayyidina Ali R.A.
Nabi bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : الْخِلافَةُ ثَلاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ مُلْكًا.
قَالَ سَفِينَةُ : فَخُذْ سَنَتَيْنِ أَبُو بَكْرٍ ، وَعَشْرًا عُمَرُ ، وَعُثْمَانُ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ ، وَعَلِيٌّ سِتًّا.
Khilafah hanya berjalan selama tiga puluh tahun. Setelah itu (kepemimpinan negara) akan berbentuk kerajaan.
Dalam menafsiri hadis di atas, Safinah mengatakan bahwa masa kekhalifahan selama tiga puluh tahun sudah dituntaskan oleh sahabat Abu bakar selama dua tahun, sahabat Umar sepuluh tahun, Sahabat Utsman dua belas tahun, dan sahabat Ali selama enam tahun –yang jika dihitung, jumlah keseluruhannya adalah tiga puluh tahun.
Memang, terdapat hadis lain, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Hudzaifah yang mengatakan bahwa akan ada khalifah lagi setelah keempat khalifah dari sahabat utama Nabi tersebut, namun yang dimaksud adalah khalifah Umar bin Abd Aziz. Oleh karena itu, imam Syafi’i kemudian menegaskan, khalifah Islam itu ada lima, yaitu: Abu bakar, Umar, Ustman, Ali, dan Umar bin abd Aziz.
Dengan begitu, yakni dengan mempertimbangkan aspek pluralitas masyarakat Indonesia, juga dengan disokong oleh pendapat beragam ulama otoritatif, sistem kepemimpinan berdasarkan sementara muslim tersebut adalah angan-angan yang jauh dari kenyataan.
Namun bahwa kemudian terdapat sekelompok kecil muslim Indonesia yang berpendapat Indonesia harus di-khilafah-kan –dengan alasan bahwa demokrasi adalah sistem kafir dan pemimpinnya adalah tagut, hematnya mereka menyingkir saja dari negeri ini agar tidak hidup di dalam suatu negeri yang mereka cap sebagai kafir itu.
Selain itu, harus dipahami bahwa politik dan bentuk ketatanegaraan dalam literatur fikih dimasukkan ke dalam kategori muamalah. Di dalam al-Qawaid al-Fiqhiyyah dikatakan, “hukum dasar muamalah adalah ibahah (bersifat boleh)”. Menurut imam Ibnu Aqil, hal pokok dalam sebuah sistem politik adalah metode dan cara yang ditempuh agar mendatangkan maslahat bagi rakyat, meskipun konsepsi dari metode tersebut tidak bersamaan dengan ketetapan Nabi SAW dan tidak berlandaskan wahyu.
قال ابن عقيل : السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يضعه الرسول ولا نزل به وحي
(Di dalam islam) politik adalah usaha manusia untuk lebih mendekat keapada kebaikan dan menjauhkan mereka dari keburukan, meskipun usaha tersebut tidak pernah ditetapkan nabi dan tidak berlandaskan kepada wahyu”.
Sementara itu, dalil yang dipakai oleh mereka yang mengaku sebagai pejuang khilafah, salah satunya adalah hadis riwayat imam Muslim, “barang siapa yang mati sedang di lehernya tidak terdapat baiat, maka dia mati dalam keadaan Jahiliyah”. Jika kita membuka kembali interpretasi beberapa pakar hadis, kita akan mendapatkan penjelasan bahwa hadis tersebut tidak mengandung instruksi ke arah pembentukan khilafah Islamiyah. Namun, ia lebih bersifat perintah agar masyarakat patuh pada pemerintah yang sah.
Berkaca pada NU
Jika melihat ke belakang, memperjuangkan berlakunya syariat islam secara formal sudah pernah dilakukan oleh ulama-ulama NU.
Dalam sidang BPUPKI misalnya, KH. A. Wahid Hasyim memperjuangkan agar Islam ditetapkan sebagai agama negara. Demikian juga dalam sidang-sidang konstituante tahun 1958-1959 bahwa partai NU memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam undang-undang negara. Karena bagi NU, formalisasi syariat Islam merupakan impian yang wajar bagi umat islam, namun rupanya realitas sosial tidak menghendaki itu sehingga apa yang diperjuangkan NU mengalami jalan buntu.
Pada fase berikutnya, penyokong dan simpatisan PKI mencoba mendesakkan komunisme ke dalam sistem politik di Indonesia. Penolakan pun bergaung di mana-mana. Dengan kata lain, di dalam sejarah negeri ini pernah ditarik ke kanan (Islamisme) dan ke kiri (komunisme), namun akhirnya Indoneisa tetap berlabuh ke dalam sistem pemerintahan yang sampai ke kita hari ini.
Dengan mengambil dasar pada argumentasi syar’i –sebagaimana dirumuskan oleh para ulama terdahulu- akhirnya Pancasila disepakati sebagai filsafat negara dan demokrasi sebagai sistem. Fakta sejarah telah membuktikan bahwa pancasila itu perekat kebangsaan yang mampu mempersatukan penduduk Indonesia yang berwarna-warni.
Baca juga: Kembali ke Pesantren, Kembali ke Legacy Leluhur
Akhirul Kata
Sekali lagi, jika sebagian “kelompok minoritas” Islam itu tetap bersikukuh untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam secara formal, atau misalnya sisa-sisa simpatisan PKI tetap “memaksa” menjadikan komunisme sebagai ideologi negara, maka pertumpahan darah tak akan bisa dielakkan.
Sedangkan menurut Islam sendiri, pertumpahan darah itu bertentangan dengan salah satu lima prinsip dasar Islam, yakni al-Hifdu al-Nafs (pemeliharaan terhadap keberlangsungan kehidupan).
Mari kita jaga investasi para mujtahid dan pejuang kemerdekaan negara ini dengan tetap berpegang teguh pada empat pilar bangsa; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Jiwa Nasionalis (cinta tanah air) harus senantiasa ditanamkan dan dimiliki oleh segenap bangsa Indonesia demi eksistensi dan kondusifitas kehidupan. Teruslah gemakan semboyan “Hubbu al-Wathon mina al-Iman” (cinta tanah air adalah sebagian dari iman).
abdul kadir baraja dalil tentang khilafah formalisasi syariat islam islam khilafah nabi saw syariat islam umat islam