Anak-Anak Muda dalam Pusara(n) Konservatifme Politik

307333 views
Anak-Anak Muda dalam Konservatifme Politik

Sumber: beritabaik.id

Di sebuah gedung bekas pengadilan negeri di sebuah kabupaten di Jatim, orang-orang bersetelan batik yang tak sama persis meriuh di lantai dua. Di antara mereka, yang terbanyak adalah anak-anak muda di kisaran umur 25 sampai 35, sebagian kecilnya adalah orang-orang tua, dan sisa tersedikitnya adalah perempuan.

Mereka meriuh di sana atas prakarsa kabupaten, dengan maksud koordinasi terpadu Panpilkades (Panitia Pemilihan Kepala Desa). Lalu, pada jam yang sudah ditentukan, di altar agak tinggi di bagian depan di lantai dua itu, duduk berjejer panitia dari provinsi, kabupaten, kecamatan, hingga perwakilan akademisi, tim pengaman dari Polda dan pengamat. Mereka tampak siap dan sigap memberikan arahan-arahan, juga informasi lain yang diperlukan.

Paparan demi paparan berjalan sebagaimana biasa hingga paparan paling ujung. Namun, yang paling penting dari semua paparan adalah bahwa beberapa desa, berdasarkan hitung-hitungan tim terpadu dari provinsi dan kabupaten dan lainnya, berada dalam garis merah. Maksudnya, desa-desa ini harus mendapatkan pantauan penuh, kesigapan memadai, dan lain-lain.

Ini adalah awal Juni 2015 yang sering gerimis.

Saya adalah bagian dari yang duduk di meja mendengarkan paparan-paparan tersebut, yang lebih sering mendongakkan wajah ke luar jendela, melihat-lihat apakah mendung akan kembali menjadi hujan, seperti hari-hari sebelumnya. Bagi saya, sekalipun desa saya termasuk yang bergaris merah, itu tak penting-penting amat. Karena saya tahu persis, amatan orang luar itu berbeda sama sekali dengan hitungan-hitungan panitia di lapangan. Sepersis gerimis yang sering turun, orang-orang itu adalah petugas BMKG yang menguatirkan hujan, sementara Panpilkades mengerti bahwa tiap Pilkades adalah awal Juni yang selalu gerimis.

 

Pilkades dalam Ancaman Clash

Sejak gelaran-gelaran terdahulu, desa saya memang selalu berisiko pecah clash, sekurangnya bila diukur dari sebaran isu dan wacananya. Kubu-kubuan yang berakibat kepada naiknya suhu politik selalu tak terhindarkan. Keadaan demikian juga menimpa tetangga-tetangga desa terdekat, yang sama-sama akan menyelenggarakan gelaran serupa. Realitas demikian merupakan menu wajib tiap gelaran pilkades, sebagaimana juga terjadi di banyak daerah di mana preman merupakan salah satu pilar sentral dalam mengalihkan dan merebut simpati publik pemilih.

2015 merupakan sebuah tonggak harapan. Dari 2015 yang penuh asa itu diharapkan bahwa kelak Pilkades akan makin ditaburi tunas-tunas muda. Dan mereka bukan cuma muda dalam umur. Mereka, sebagian besarnya, adalah anak asuh peradaban pendidikan mutakhir, yang dalam diri mereka tertancap chip peradaban masa depan.

Sebagai desa yang dianggap terluar, terdepan, dan terbelakangan menurut data dari penyelenggara LPDP, keterlibatan anak-anak muda dalam Panpilkades merupakan berita dan kenyataan politik yang teramat membahagiakan, terlepas keterlibatan itu atas inisiasi mereka sendiri atau tidak. Keterlibatan ini sekurangnya menandai sebuah arus baru yang bergerak, yang dengannya wacana lama mau tak mau sedikit bergeser. Pergeseran arus lama dan besar, lebih-lebih di desa terluar, bukan pekerjaan mudah. Anak-anak muda harus bertarung mati-matian, sekurangnya, demi bisa terlibat dalam kepanitiaan.

Di desa-desa terluar itu, konservatisme politik mencengkram habis-habisan pelbagai sendi kehidupan masyarakat. Apa itu konservatisme politik, khususnya dalam kasus desa terluar itu? Tak lain adalah praktik politik kekuasaan yang menunggangi kelas sosial, mempermainkan wacana ketakutan dan dibajui agama. Aktor politiknya, kemudian, adalah mereka yang dalam dirinya memiliki potensi, atau sekurangnya memiliki akses yang lebar kepada ketiganya. Yang berpotensi, misalnya, dia yang dalam kategori sosial berada di atas, baik sebagai figur kharismatik dalam agama maupun dalam premanisme.

Dalam pengalaman politik selama berpuluh-puluh tahun, para figur di desa saya berbagi peran. Namun, dalam masa elektoral, tak sedikit dari mereka yang berfusi, justru untuk mengangkat preman ke tampuk kepala desa. Figur agamawan tak cukup mampu untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat: sesuatu yang sejak berpuluh-puluh tahun dipelihara untuk mematenkan konservatisme politik. Harus diakui bahwa, di desa-desa terluar, isu keamanan masih sangat seksi untuk dijual di pasar politik elektoral, bahkan isu tersebut mengungguli isu semisal kesejahteraan bersama, kemajuan desa, dan lainnya.

Dalam skala besar, isu semacam itu tidak hanya laku untuk kontestasi pilkades, namun juga hingga pilgub dan pilpres. Untuk 2019 yang lalu, isu keamanan itu masih ditambah satu lagi: radikalisme.

 

Harus Berani Mengambil Risiko

Anak-anak muda yang memiliki inisiatif sendiri untuk terlibat dalam politik desa perlu diapresiasi tinggi, setidaknya bahwa mereka adalah harapan besar bagi terputusnya mata rantai konservatisme.

Kalau pun di tingkat nasional peran mereka seperti kontinuitas arus lama, dengan banyaknya politisi muda yang dikerangkeng lembaga antirasuah, di tingkat desa di mana para partisipan politik adalah tetangga sendiri, dinamika dan riil politiknya jelas berbeda dengan realitas politik nasional. Selain bahwa para pemilih di tingkat desa mengetahui dengan pasti riwayat para politisinya, para pemilih juga dapat secara langsung mengetahui agenda dan visi calon pemimpin mereka.

Anak-anak muda hanya perlu meyakinkan masyarakat bahwa zaman sudah berubah, dan ketakutan-ketakutan purba pun mestinya turut disurutkan. Pilkades sudah di depan mata. Kita patut berharap.

anakanakmuda koservatifme pilkades

Related Post

Leave a reply